Sunday, August 30, 2020

Sadino's Monologue #10

 



“There were others, different perspectives where different things

have meaning that were just as valid.” ― Alan Moore. 



Quote komikus Alan Moore itu benar adanya, El. Moore mengatakannya setelah dia mengalami efek dari sebuah substansi tertentu. 

Aku ingat malam itu, El. Aku sedang terbaring tak berdaya di atas tempat tidurku, entah sudah berapa jam aku tidak bangkit dari sana. Aku terus membakar rokokku, dan rasanya hambar. 

Lagu "Change" milik Banks terus mengalun, memecah-belah pikiranku menjadi beberapa bagian. Kamar tidurku dipenuhi asap, tapi aku tidak peduli. Jendela kamarku tertutup rapat, dan AC kubiarkan terus menyala. 

Cahaya dari lampu hias LED berpendar di langit-langit kamarku, meminta untuk dipandang. Sambil menggumamkan bait-bait terakhir "Change" yang tidak berlirik, aku menutup mataku dan meresapinya. 

"Kamu gila, Sadino," bisikku pada diriku sendiri. "Kamu gila." 

Dengan mata terpejam, aku bicara sendiri. Hal-hal yang tidak masuk akal seakan nyata. Segala hal yang bertentangan dengan norma menjadi lumrah. 

Tanpa diminta, punggung tanganku bergerak dan menyentuh dahiku. Aku berdecak berulang kali, menahan diri untuk tidak mengikuti hawa nafsuku. Aku ingin bunuh diri. 

Aku menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. "Fuck you," bisikku, lagi-lagi pada diriku sendiri. 

Aku bangkit dari tempat tidurku, berdiri, dan menggeleng. Abu rokok yang telah memanjang jatuh ke lantai. Aku menatapnya, dan menghiraukannya. 

Aku duduk di pinggir tempat tidur dan menengadah. Aku ingin berteriak. Lagi-lagi, aku menahannya. Aku tidak akan membiarkan tubuhku merasa bebas. Dia harus tahu diri, karena jiwaku bukan jiwa sembarangan. 

Aku menggaruk bagian belakang kepalaku seraya mematikan rokok di asbak di samping tempat tidur. Aku kembali membakar rokok dan menaruhnya di atas asbak, membiarkannya terbakar tanpa tujuan. 

Telapak tangan kananku menghantam wajahku cukup kencang. Kini kedua tanganku bergerak-- mereka menjenggut rambutku. Mendadak, aku merasa tolol. 

Aku menatap jam dinding di atas pintu kamarku. 02.15. Malam masih panjang, dan aku sudah mati rasa. Aku mengeluh dalam hati, menyesali sesuatu yang tidak aku lakukan. Pandanganku kabur, saturasi mataku menurun drastis. Aku bisa merasakan pupil mataku melebar, dan jantungku berdetak semakin cepat. 

Rasanya seperti sedang melawan gravitasi. Rasanya, aku baru saja mengalami deformasi. Aku mengambil rokokku, mengisapnya dalam-dalam, dan mengembuskannya dengan cepat. 

Aku menyeret tubuhku ke depan cermin. Tanpa diminta, aku menyentuh bayanganku di sana. 

"Kamu dehidrasi, Sadino?" ucapku pelan. Tiba-tiba, aku ingin menghardik diriku sendiri. 

Aku tahan keinginan itu. Gigi-gigiku saling beradu, mengeluarkan bunyi seperti engsel pintu yang sudah lama tidak diberi minyak. Aku ingin meninju bayanganku di cermin. Aku benci melihat diriku. Aku muak melihat wajahku sendiri. 

Ponsel pintarku berdering. Dengan lunglai, aku mencari sumber suara. Aku mengacak-acak tempat tidurku dan kutemukan ponsel pintarku yang menyebalkan itu. 

"Sadino," sapa seseorang. "Aku di bawah." 
"Tolol," dan aku matikan telepon. 

Aku melempar ponselku ke tempat tidur dengan kasar. Mendadak, tubuhku lemas. Aku bisa merasakan tulang-tulangku seperti terkikis. Mereka saling menggesek dan mengeluarkan suara seperti berderit. 

Seseorang membuka pintu. Tangan kirinya mengibas asap yang menghalangi pandangannya. Aku sadar aku menatapnya dengan liar. Tapi, saat aku tahu siapa orang ini, mulutku bergerak dan aku tersenyum. 

Lelaki yang tadi berada di ambang pintu kini sudah berada di dalam kamarku. Ia menutup pintu dengan pelan, dan melihat ke sekeliling. 

Sudah sejak lama aku mengagumi sisi kiri wajahnya. Hidungnya terlihat lebih mancung saat ia memandang langit-langit, dan anting hitam di telinga kirinya membuatku mendengus. 

Rambutnya tidak seperti lelaki-lelaki kekinian yang sisi kanan kirinya dicukur setipis mungkin dengan bagian atas rambut dibiarkan tebal dan diolesi pomade. Lelakiku ini membiarkan rambut tebalnya tumbuh bebas, dan aku bisa membayangkan bagaimana dia mengacak-acak rambutnya sebelum membuka pintu kamarku. 

London berjalan ke arah speaker di atas meja yang berada di dekat jendela dan mengecilkan volume suara. Kedua tangannya mendorong jendelaku secara perlahan, membiarkan angin malam menyeruak masuk ke dalam kamar. 

Tanpa sepatah kata yang keluar dari mulutnya, London menaiki tempat tidurku, mengambil sebatang rokok dari atas meja di samping tempat tidur, dan membakarnya. Sambil merebahkan dirinya, London menatapku tajam. Tatapannya menembus asap tebal yang baru saja ia embuskan dengan perlahan. 

Tangan kanannya menepuk-nepuk sisi kosong tempat tidur di sebelahnya. Di saat yang sama, kepala London bergerak seakan menunjuk sisi kosong itu. 


"Kemari, Sadino," London tersenyum. "Ayo kita bicara."

No comments:

Post a Comment