Sunday, December 31, 2017

Sajesha.

Ini aku.
Ini tubuhku.
Ini ragaku.
Ini isi kepalaku.

Tranggana berdiri di belakangku seraya menyibak rambutnya.
Sayaka dan Samasta memandang langit yang perlahan mulai memerah.
Jaladhi menutup matanya, mendengarkan semesta.
Jagratara menganggungkan angin yang menerpa wajahnya.

Garjita menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya.
Sudrata berjalan pelan menghampiri saudara-saudaranya.
Nalendra berjongkok menatap awan yang bergerak pelan.
Dan Padma menganggukkan kepalanya seakan ia mengerti apa yang sedang terjadi.

Sembilan kesatria berdiri di singgasana yang sama,
Menyapa senja yang perlahan menghilang,
Menanti malam tiba,
Menunggu diburu.

Darah mereka adalah darahku.
Jantung kami berdetak bersama,
Dan mata kami juga memandang hal yang sama,
Yakni dunia baru, yang ada di kaki langit.

Saudara-saudaraku, bersiaplah.
Samakan napas kalian dengan napasku.
Satukan kebencian kalian dengan jiwaku.
Seka peluhmu, kita bersatu.

Saudara-saudaraku,
Ingat, kehidupan dan kematian akan saling menggugat.
Dari satu ibu kami menarik napas,
Mari leburkan kota para dewa yang tak bersuara.

Saturday, December 2, 2017

Yudhistira.

Bangun.
Ini bukan tempatmu.
Rumahmu di sini,
Di dalam pelukan kami.

Buka matamu.
Andai aku diperbolehkan untuk memaksa,
Akan aku pacu jantungmu,
Aku akan membangunkanmu dari tidur pulasmu.

Yudhistira,
Apakah kau mendengarku?
Kami gelisah,
Kami menunggu.

Yudhistira,
Peluk aku.
Aku ingin bersandar pada bahumu,
Berbagi cerita meski tanpa makna.

Yudhistira,
Aku ingin bicara.
Jawab aku,
Jawab pertanyaan kami.

Aku tahu kau sedang berjuang,
Untuk bertemu dengan keluargamu lagi.
Kita berjuang bersama,
Dengan doa dan harapan yang tak pernah lelah kami lantunkan.

Yudhistira,
Aku masih membutuhkan kamu.
Kembalilah pada kami,
Genggam jiwa kami.

Berhentilah bermimpi.
Tidak ada yang kau cari di sana,
Keinginanmu ada pada kami,
Karena rasa cinta tidak dapat dibeli.

Saturday, October 21, 2017

Eza.

Sebelas tahun lalu,
Eza berdiri di sana,
Menangis,
Menghancurkan hidupnya.

"Hidup aku berantakan, Sa."
Tarik napasmu,
Hembuskan perlahan.
Aku selalu percaya kamu bisa.

"Aku udah enggak bisa maju lagi, Sa."
Kami selalu percaya,
Kamu bukan mereka yang tak punya masa depan,
Dan harapan itu selalu aku genggam.

"Aku sakit. Badanku sakit semua, Sa."
Bertahanlah,
Bertahanlah sedikit lagi.
Sebentar lagi, kita akan melihat langit.

"Aku udah enggak bisa lihat apa-apa, Sa."
Jangan buat aku ragu akan kehadiran Tuhan.
Jangan buat aku berhenti berdoa.
Jangan buat aku ikhlas.

"Aku capek, Sa. Aku mau pulang."
Jangan berjalan ke sana,
Jangan melihat ke sana.
Pulanglah ke sini, ke pelukanku.

"Maafin aku, Sa."
Aku tidak ingin memaafkan sebelum kamu berjuang.
Pacu jantungmu,
Aku mohon, bertahanlah.

Dan aku mengalah pada takdir.
Terluka, dan menyerah.
Di usia 21 tahun,
Tuhan mengambil Eza dari pelukanku.

Sulit,
Karena dia tak mau mengerti.
Sulit,
Karena dia menolak untuk mendengar.

Keinginannya sudah salah sejak awal.
Keputusannya telah menggerogoti tubuhnya,
Dia kehabisan waktu,
Mempermudah mimpinya menjadi sebuah fatamorgana.

Eza, ini aku.
Perempuan yang kamu tampar berulang kali,
Perempuan yang kamu peluk kakinya saat tubuhmu gemetar,
Perempuan yang kamu hancurkan doanya saat dia memintamu untuk bertahan.

Maaf,
Karena aku lupa.
Maaf,
Karena ternyata, aku masih terluka.

Thursday, October 5, 2017

Danur.

Maukah kamu berdosa,
Untuk kami yang tak lagi disegani?
Maukah kamu memimpin,
Barisan manusia yang sedang patah hati?

Danur memandang nanar,
Tangannya menggenggam nirwana,
Melantunkan lagu rindu,
Membalut semesta dengan doa.

Ini adalah bahasaku,
Ringan, tapi bermakna.
Merangkul mereka yang penuh noda,
Merengkuh, merayu.

Ajak aku pergi,
Yang sedang bermain hati,
Aku yang tak bertulang,
Aku yang bermuram durja.

Ini napasku,
Menari dalam angan,
Menuai kontroversi,
Melahirkan kesunyian.

Danur melihatku,
Menggeleng pelan,
Berjalan pergi,
Mencari suara yang memanggilnya untuk kembali.

Wednesday, September 20, 2017

Tribuana Tunggadewi.

Kamu pikir,
Kita sedang berbagi luka?
Kamu pikir,
Aku menunggu kamu kembali?

Ya, kamu benar.
Aku ingin melihat kamu,
Meraung dan mengemis,
Menyebut namaku.

Tapi,
Aku bukan orang jahat.
Aku hanyalah lelaki yang berhenti berharap.
Aku adalah bayangan yang selama ini kau cari.

Aku ingin bertemu.
Agar kita saling menyakiti,
Agar pedihku jadi pedihmu,
Agar kita kembali jadi satu.

Aku ingin lihat,
Bagaimana sebuah rasa mampu memimpin ego,
Ego yang tak akan jinak,
Untuk kita yang sama-sama kecewa.

Aku adalah hantumu.
Atau sebaliknya?
Siapa yang salah?
Siapa yang akan mengalah?

Dengarkan aku,
Dengarkan hatiku yang angkuh.
Jangan datang jika tak akan kembali.
Jangan berani bertanya jika tujuanmu hanya air mata.

Sunday, September 17, 2017

Angkasa Jaya.

Andai kamu punya sayap,
Kamu pasti sudah pergi ke negeri seberang.
Andai aku punya sayap.
Aku pasti menyusulmu ke sana.

Ini mimpimu,
Mimpi seorang lelaki yang aku banggakan,
Bagian dari bahagiamu,
Dan juga bahagiaku.

"Ikut aku," katamu,
Seraya mengulurkan lengan kananmu,
Mencoba meraihku,
Yang memilih untuk diam di tempat.

Aku telah membayangkan,
Ratusan gedung pencakar langit,
Air sungai yang mengalir jernih,
Ragamu di sana.

Angin memanggilmu.
Membawa setiap memori di dalam kepalamu,
Pergi jauh,
Meninggalkan aku dan mereka yang hancur melihatmu.

Beri warna pada angkasa,
Kini kamu tiada tandingannya.
Sebut satu nama yang kamu genggam detik ini,
Karena di udara, kita berjaya.

Monday, September 11, 2017

Radityan.

Aku tak lagi mendengarmu di sini.
Aku tak lagi mendengar detak jantungmu,
Tak lagi mendengar deru napasmu.
Tubuhmu telah membisu.

Aku mencoba mereka ulang kisahmu.
Ketika kamu melukis sebuah cerita,
Ketika kamu berlari menuju senja,
Ketika anggota tubuhmu bergerak bebas dan bahagia.

Ini lebih baik.
Aku lelah,
Melihat tubuhmu diwarnai memar,
Melihat tubuhmu remuk tanpa disengaja.

Radityan,
Pria penuh ambisi,
Tak pernah lelah untuk tertawa,
Penuh cinta dan dicintai.

Terlalu baik,
Terlalu sabar,
Radityan tak ingin mengejar,
Namun waktu tidak berpihak padanya.

Aku akan membingkai mimpimu.
Aku akan simpan deritamu.
Aku akan menutup rapat ingatanmu.
Karena kamu hidup, untuk kembali.

Radityan,
Teruslah berlari hingga aku tak bisa mengejarmu.
Ikhlasku adalah rasa sayang yang akan selalu menemani.
Dan doa kami, selalu menyertai.

Selamat tidur, Radityan.

Saturday, September 9, 2017

Dursasana.

Singkat cerita,
Dursasana adalah seorang pendendam.
Alasannya, karena dunia butuh keadilan,
Karena manusia tidak pernah salah.

Ia terpaku pada sebuah aturan,
Yang dibuat untuk dihancurkan.
Dengan gelisah,
Ia menyebut nama-nama yang pernah membuka lukanya.

Dursasana mencoba mengingat,
Akan wajah Drupadi, cinta lamanya.
Akan wanita yang wajahnya dibalut cahaya,
Yang juga lambang kegembiraannya.

Mimpi.
Itu hanya mimpi.
Tidak mungkin ia jatuh cinta lagi.
Itu tidak adil.

Dursasana menolak lupa.
Bagaimana watak seorang raja.
Bagaimana rupa seorang ksatria.
Berdarah untuk mimpi, untuk kami.

Mereka yang berdiri di ujung senja,
Tak akan melupakan pahitnya sebuah zaman.
Berdiri angkuh menantang waktu,
Mengabadikan momen yang akan hilang terbawa arus.

Dursasana mengangguk pelan.
Ia berdecak, dan menutup kedua matanya.
"Untuk siapa kamu hidup?" tanyanya dalam hati.
"Kenapa kamu hidup?"

Dursasana membuka matanya.
Ia mereka ulang semua cerita,
Meninggalkannya tanpa suara,
Tanpa pertanyaan, tanpa jawaban.

Inilah air mata Dursasana,
Yang mencoba menembus batas namun tak bisa,
Yang ingin terus terjaga dari alam bawah sadarnya.
Dursasana yang berhasil lepas dari kebencian.

Sunday, September 3, 2017

Duryodhana.

Aku berjanji,
Untuk tidak melihat ke belakang lagi,
Untuk tidak meminta sesuatu yang bersifat tidak pasti,
Untuk tidak mematahkan mimpi seseorang.

Aku puas,
Akan sebuah derita,
Fakta akan sebuah mimpi,
Dan deru sakit hati.

Demi mata yang menatap dengan liar,
Demi napas yang tak beraturan,
Demi angan yang aku kubur hidup-hidup,
Demi kamu.

Seperti Duryodhana yang mendambakan dirinya sendiri,
Elegiku memecah heningnya sebuah kota,
Memandang rendah mereka yang meninggikan egonya,
Melumat asa dan rasa.

Seperti Duryodhana yang mengagungkan dirinya,
Aku pergi berperang,
Untuk senyawa, arti sebuah cerita,
Untuk waktu, tentang suara.

Monday, August 28, 2017

Gending Sriwijaya.

Coba kamu ingat lagi,
Saat suara memecah langit merah di kala senja,
Aku termenung memikirkan sebuah jiwa,
Dia, yang meninggalkan luka.

Lukaku terbuka,
Angkuh menantang dunia.
Hati kami saling menggenggam,
Dan hitung mundur pun dimulai.

Tiga.
Aku merasa sengal.
Mengingat waktu yang tak akan terulang,
Memilin ingatan yang mulai hilang,
Dibekuk rasa, menuai resah.

Dua.
Aku rindu,
Akan sosok yang tak berwatak,
Dia yang membatin dalam keraguan,
Demi jantung yang mendadak berhenti berdetak.

Satu.
Jemari yang gemetar,
Menulis sebuah fenomena,
Demi humus yang kian menghitam,
Demi kerinduan akan sebuah zaman.

Jangan terpaku dengan mata angin, katanya.
Jangan menghirup api.
Ini laguku, Gending Sriwijaya,
Untuk rezim yang tak akan pernah stabil.

Sunday, August 20, 2017

Gala.

Manusia itu selalu berbohong.
Agar merasa aman,
Agar tidak dihujat,
Agar terlihat kuat.

Manusia adalah mangsa yang mudah untuk diterkam.
Peluk dia,
Selimuti dia dengan cinta,
Dan tusuk dia dengan perlahan.

Dia, kamu, kita,
Semua sama.
Kebencian telah menyatu dalam darah,
Menolak lupa, menolak sadar.

Semesta sedang memandangmu.
Kamu yang sedang berlagu,
Kamu yang kebingungan,
Kamu yang sedang merobek luka lamamu.

Kamu tahu?
Kamu akan jatuh membentur tanah,
Karena mencintai aku yang fana,
Aku yang miskin rasa.

Rasakan jemarimu,
Dingin, membiru,
Pulanglah,
Mimpimu menunggu.

Tuesday, May 23, 2017

Gardana.

Aku pikir,
Kamu berjiwa pengawal.
Sesuai namamu,
Gardana.

Aku pikir,
Kamu akan membentur tanah lebih dulu daripada aku.
Dan aku pikir,
Kamu akan hidup dengan bayanganku.

Kamu pergi,
Tanpa pamit.
Memang, itu hakmu untuk memilih.
Tapi, siapakah aku?

Kamu yang lebih dulu menyerah.
Meninggalkanku yang berdiri tanpa jiwa,
Yang melihat tanpa mata,
Digempur dusta, dibalut duka.

Kamu muak?
Kamu lelah? Aku juga.
Kamu mau berhenti?
Silakan, tidak ada yang melarang.

Tapi ingat, Gardana.
Ini cerita yang kita buat.
Ini adalah sumpah yang kita bunuh bersama.
Jangan abaikan itu.

Resahmu adalah milikmu, Gardana.
Pandang aku dengan haru,
Siapa aku?
Dan siapa dirimu.

Monday, April 24, 2017

Gardapati.

Aku menyerah.
Bukan karena lelah,
Bukan karena marah,
Bukan karena mereka.

Aku hanya takut,
Takut mati.
Aku takut tubuhku terbakar emosi.
Aku takut berjalan seorang diri.

Dua manusia saling menghasut,
Melahirkan benci,
Saling melontarkan sumpah,
Dan mataku menolak untuk melihat.

Coba pikir apa yang telah kamu lakukan padaku.
Yang duduk manis dengan sabarnya,
Menanti permintaan maaf,
Yang ternyata hanya terbentuk di dalam angan.

Coba lihat apa yang telah kamu perbuat.
Kamu hantam sebuah kepercayaan dengan kebebasanmu.
Kamu buru puluhan nyawa,
Melibatkan dan merelakan sebuah rasa.

Gardapati,
Kamu telah menghancurkan sebuah memori.
Sujudmu di atas tanah tidak lagi berarti,
Untuk aku yang menggenggam jiwa sebuah kehidupan.

Jangan pernah lakukan ini dengan orang lain.
Tundukkan egomu,
Bernapaslah sebisamu.
Ingat bahasa amarahku.

Jangan buat kedua mataku berdarah lagi.
Jangan bagi aku hidupmu.
Kita sedang diuji,
Tanpa harus saling mengampuni.