Sunday, August 30, 2020

Sadino's Monologue #6

 

El, ada apa denganku?
Mendadak, aku merasa seperti sedang berduka. 

Aku seperti sedang mendengar sebuah himne. Samar-samar, melodi akan sebuah musik yang sendu mengalun dengan perlahan, membelai telinga, hingga bulu kuduk berdiri. 

Apa ini, El? Aku sudah menutup telingaku, dan himne ini tetap terdengar. Entah ini himne atau bukan, tapi suara-suara yang terdengar seperti sedang memuja sesuatu. 

Sebentar, El. Aku bisa mendengar denyut nadiku sekarang. Aku bisa merasakannya, El. Darah yang mengalir dengan perlahan, udara yang bergulat di dalam paru-paru, otot-otot yang lemas, pupil mata yang perlahan mengecil. 

Inikah sisi lain dari kehidupanku yang muram itu, El?
Apakah ini yang kau maksud dengan bersenyawa? 

Nyanyian itu semakin terdengar. Suara seorang perempuan dan laki-laki saling bersahutan, membuat sebuah lingkaran yang tak kasat mata di antara mereka. Gelombang suara mereka bergaung hingga ke cakrawala, membentuk sebuah garis lengkung yang membelah langit. 

Aku melihat diriku sendiri, El. Aku yang rapuh, aku yang nanar memandang diriku. Tubuhku terlihat memar di berbagai bagian, El. Ujung bibirku berdarah, kedua mataku lebam. 

Aku bergeming. Aku mulai cemas. Tak ada angin yang menerpa wajahku. Pasir seakan berbisik, membawa pesan yang tak mampu kubaca. Aku dan diriku masih saling menatap. Dan nyanyian itu semakin keras. 

Inikah diriku yang selama ini aku puji?
Betapa hancurnya aku, El.
Betapa rusaknya anggota tubuhku selama ini. 

Inikah dogma yang selama ini kubenci?
Inikah aku yang terbiasa dengan kehadiran sebuah stigma? 

Apakah sesungguhnya perempuan ini, perempuan yang berdiri dengan anggun tanpa alas kaki, benar-benar hidup? 

Kami berdua kontras, El. Aku bisa melihat mata lembayungnya dengan jelas. Dunia terbakar di sana. 

Wajahku perih, El. Pipiku seperti tergores sesuatu. Dan sekarang, darah mengalir pelan hingga ke daguku, mengingatkanku pada hangatnya dekapan seorang ibu. 

Ini ulahmu, El. Aku menyalahkanmu. Bukan karena tidak ada lagi yang bisa disalahkan, tapi karena duniaku ada di sana, dalam genggamanmu. 

Cukup, El. Ini menyakitkan. Aku harap, aku mengerti maksud dari perjalanan ini. Aku dan kamu akan jadi satu. Kita akan meronta bersama, saling memohon, dan mengampuni. 

Nyanyian itu mendadak berhenti. Duniaku kembali sunyi, dan aku melihatmu sekarang. Itu aku, El, itu suaraku. Dan itu suaramu, El. Ini caraku untuk bernyanyi, dan kau membantu dengan mengasihi.

No comments:

Post a Comment