Monday, December 21, 2020

Sadino's Monologue #26


Aku hidup di dunia yang tak berbatas, begitu juga kamu. 

El, aku mengharapkan tak ada lagi keterbatasan akan sebuah pemikiran. Batas yang dibuat sendiri oleh manusia itu menghancurkan sebenarnya. Manusia jadi merasa kecil di dunia yang besar. Manusia jadi merasa takut untuk melangkahkan kaki mereka. 

Aku pikir, setiap manusia berhak untuk berjalan menuju tempat yang mereka inginkan. Manusia juga berhak untuk diam di tempat dan menyakiti tubuh mereka dengan hal-hal yang tak kasat mata. 

Mimpiku kerap bertabrakan dengan hal-hal yangbisa dibilangsesuatu yang tidak lumrah. Tapi, manusia adalah konseptor terbaik yang pernah diciptakan. Lalu, kenapa banyak manusia yang merasa tersingkir dari sebuah lingkaran yang seharusnya menampung pemikiran-pemikiran dahsyat mereka? 

Perlukah induksi? Haruskah hal-hal yang ada di sekitarku didasari dengan fenomena yang hanya terjadi seratus tahun sekali? Itu tidak adil, El. 

Manusia merasa mereka selalu terikat akan sesuatu yang mereka anggap suci. Padahal, kesucian mengikat mereka dan menjadikan mereka sebagai binatang bertubuh manusia. Kadang aku hanya tersenyum menunggu kebebasan. Tapi, aku juga tahu itu percuma, El. 

Aku tidak mengatakan manusia itu bodoh. Mungkin, fungsi beberapa organ di mereka hanya dimatikan sementara untuk berbaur dengan keadaan. Aku paham dan aku tidak mengatakan itu salah. Hanya saja, manusia terlalu takut hidup sendiri hingga mereka ingin bersatu dengan kejahatan yang dibalut dengan kebaikan. 

Kau mempertanyakan aku, El? Aku tidak bisa menjawab. Bertahun-tahun aku hidup dan berdamai dengan formalitas. Jadi, aku rasa aku bisa berlari tanpa beban melewati semak berduri. 

Aku rasa, kamu juga bisa melakukannya, El. Tapi untuk sementara ini, mungkin kalimat yang kita berdua ucapkan hanya sebatas kiasan. Agar kita lebih tangguh, agar kita menghargai daun-daun yang telah gugur dan berserakan tanpa tahu apa penyebabnya.

Monday, November 23, 2020

Sadino's Monologue #25



"Setiap tetes hujan yang jatuh membentur tanah,
bersemayam sebuah cerita yang sebenarnya tidak nyata." 


Tiga jam sudah aku duduk di atas tempat tidurku tanpa melakukan sesuatu yangkelihatannyaberguna. Rokok di tangan kanan, dan handphone di tangan kiri. 

Aku duduk bersila, memandangi hujan yang membasahi setiap atap rumah yang rata-rata sudah diselimuti lumut. Hujannya cukup deras, seperti menyapu bersih polusi yang kini tak kasat mata. 

Dunia terasa sunyi tanpa hujan. Setiap tetesnya seakan menyampaikan pesan, bahwa manusia dan air saling membutuhkan, namun juga bersinggungan. 

Aku nyaris tak bicara selama satu jam terakhir. Dua jam sebelumnya, aku menyanyi seorang diri, mengasihani sesuatu yang tak bisa aku sentuh. 

Aku juga mengajak diriku sendiri untuk bicara. Aku membatin agar ada yang mau mendengarkan, siapa pun itu. 

Perlukah alasan? gumamku sambil mematikan rokok ke asbak. Patutkah untuk menyelamatkan daripada diselamatkan? 

Iya, El, kau tahu itu. Di saat jiwaku mulai bergerak tanpa arah, El selalu menyemangatiku. Aku sedang tidak ingin memujimu, sebenarnya. Tapi, anggap saja percakapan hari ini berlangsung dengan hamar. Jadi, aku mencari celah untuk bisa bicara denganmu, El. 

Angin dingin menerpa wajahku tanpa permisi. Aku menunduk dan memperhatikan kedua punggung tanganku yang penuh luka. 

Luka-luka ini tak kunjung kering. Tidak, luka-luka ini tidak akan mengering. Selamanya, luka-luka ini akan membekas, dan mungkin akan melahirkan luka baru. 

Kontemplasi. Lagi-lagi, aku berkontemplasi. Pikiran ini bukanlah sebuah prioritas, melainkan aku sedang diuji. Kesabaranku, pengorbananku, waktuku, mimpi-mimpiku, semua jadi satu. 

Aku yang kecewa perlahan terlahir kembali, menghadirkan kekecewaan yang baru, yang sebelumnya tak pernah berani untuk aku sentuh.  


Ini aku yang melukis fenomena. 
Ini aku yang jatuh cinta pada bencana. 

Ini aku yang mencoba untuk menerima, 
Bahwa aku adalah air yang telah membeku selama seratus tahun, 
Bahwa aku adalah wadah yang terbuat dari daging dan darah, 

Anak cucu Adam, 
Yang menolak lupa akan serbuan rasa yang membabi buta meminta untuk direngkuh.

Sunday, November 22, 2020

Sadino's Monologue #24


El, bagaimana kabar Dove? Apakah dia sehat? Apakah dia baik-baik saja? 

Entah apa alasannya, aku rindu Dove-ku yang rapuh, El. Aku penasaran, apakah Dove bisa mengatur hidupnya setelah dia memutuskan untuk menghilang? 

Aku hanya bisa mendengus ketika mendengar namanya, El. Aku terlalu peduli, padahal sayap anak itu hanya patah sebelah. 

Aku selalu menganggapnya seperti anak kecil, El. Tapi, anggapan itu didasari dengan apa yang aku lihat. Dia memang seperti itu, polos, tanpa memedulikan masa depan yang akan menghantamnya tanpa aba-aba. 

Perkenalan kami singkat. Aku tidak pernah menyangka bahwa kami punya koneksi yangsejujurnyacukup menyebalkan. Tapi, aku tidak menyangkalnya dan aku menghargainya. 

Aku hanya membantu di saat dadanya terus penuh akan hal-hal yang tak kasat mata. Aku hanya membimbingnya untuk menemukan jawaban atas kekalutan yang telah lama menggumpal. 

Tidak mudah untuk berbincang dengan orang seperti Dove. Dia kerap memperpanjang masalahnya dan menutup diri dari dunia yang memberinya banyak cobaan. Dove memilih untuk menelantarkan pikirannya yang pada akhirnya, menggerogoti tubuhnya pelan-pelan. 

Isi kepalanya butuh kesegaran, El. Aku hanya memberinya relaksasi dalam bentuk kalimat. Semacam, penetrasi menuju tahap yang lebih sulit, tapi dengan mempermudah perilaku otak untuk memberikan respons yang nyaman. 

Sulit memang, mengubah cara berpikir manusia. Manusia akan berubah dengan sendirinya, dan aku percaya pendorongnya bisa berupa apa pun, mulai dari hal-hal kecil hingga hal-hal yang sukar untuk diyakini. 

Dove butuh pengorbanan untuk itu. Aku memperlihatkan kesukaran itu. Untungnya, dia mengerti dan memutuskan untuk berjalan menyusuri semak belukar yang tumbuh liar di kepalanya. 

Aku lega Dove mampu mengamini sebuah proses. Aku bersyukur Dove mau mendengar suara-suara yang menghancurkan dirinya. 

Satu hal, Dove boleh tinggal di negeri dongeng. Tapi, bukan dongeng seperti di film-film klasik Disney, tapi dongeng yang ditulis oleh Brothers Grimm. 

Aku harap, Dove lebih mendengarkan isi hatinya, El. Aku harap, dia mau mematahkan keinginannya untuk membuat orang lain nyaman di dalam pelukannya. Aku harap, Dove berhenti meratapi apa yang telah dia perbuat selama ini. 

Kamu benar, El. Aku tidak merindukannya. Aku hanya khawatir dengan keadaannya. Aku adalah burung gagak yang takut melihat merpatiku terbang menjauh.

Saturday, November 21, 2020

Sadino's Monologue #23



Hujan. Berkeluh. Menyesal. Hujan. Berkeluh. Menyesal. 


Hujan berhenti, dan malam mendadak bisu. Terlalu sunyi untuk ditinggali, terlalu gelap untuk dinikmati. Di kejauhan, aku bisa melihat bintik-bintik cahaya berwarna kuning menjalar hingga ke bawah bukit.

Dunia terlalu tenteram malam ini. Angin dingin membelai rambutku mesra. Rasanya seperti, belasan tangan menyentuh tubuhku dengan lembut. Wangi tanah yang basah dan butiran air di rumput membuatku mendesah. Inikah kehidupan? 

Aku berjalan menyusuri jalan setapak yang membawaku kembali ke rumah. Kedua lenganku basah, membuatku ingin buru-buru pulang. Aku ingin berganti pakaian, aku ingin mandi air panas, aku ingin menikmati teh hangat. 

Aku tiba di rumah dan terpaku di teras. Aku bertanya-tanya dalam hati, perlukah aku harus mengetuk pintu? 

Pintu rumahku terbuka dan seorang laki-laki berdiri di ambang pintu. Wajahnya malas, kantung matanya cukup tebal, dan mata hitamnya menatapku kesal. 

"Dari mana kamu?" 

Aku tidak menjawab. Laki-laki tersebut mendongak, tapi kedua matanya masih menatap ke bawah, ke arahku. 

"Ini jam satu pagi, Sadino. Kamu dari mana?" tanyanya dengan suara yang sedikit meninggi. "Bajumu basah." 

"Aku mencarimu di sana," aku menunjuk langit yang bertabur bintang. "Tapi kamu tak ada." 

Alis sebelah kiri laki-laki tersebut terangkat. "Kau merasa kehilangan aku di sana?" 

Mataku berkedip berulang kali. Kepalaku menunduk tanpa diminta. 

"Lihat aku," pinta laki-laki itu dan aku menatapnya. "Jangan pergi sendirian. Aku tidak bisa melihatmu berjalan tanpa arah." 

Aku menarik napas dan mengembuskannya secara perlahan, begitu juga dia. Aku masih menunduk, menolak untuk melihat wajahnya yang mungkin kecewa dengan keputusan untuk pergi seorang diri. 

"Sadino," laki-laki itu menepuk bahuku. "Mandi air panas, ya. Nanti aku buatkan teh hangat." 

Aku mengangguk dan berjalan melewati laki-laki tersebut tanpa bicara. Aku bisa merasakan kalau dia sedang memandangi punggungku seraya berharap aku akan menoleh padanya. 

*** 

Sadino berjalan melewatiku tanpa bicara sepatah kata pun. Kepalanya masih menunduk, dan dia melangkah dengan tergesa-gesa. Dia menghindari untuk bicara lebih banyak denganku. 

Aku mendengus. Sadino kini sudah menghilang dari pandangan. Aku berbalik dan memandangi langit yang ditunjuk Sadino. Sebenarnya, ada apa di sana? 

Aku bisa merasakan bahwa kedua mataku berbinar saat melihat langit malam ini. Langit yang cerah, gelap, namun mempesona. Ada ratusan bintang berkilau di sana, di tempat yang tak akan pernah bisa kusentuh. 

Angin dingin menghantam wajahku dengan pelan. Dinginnya menusuk rusuk, membalut wajah, leher, dan kulit kepalaku. Sebelumnya, hawa di sini tidak pernah sedingin ini. 

Aku mengambil bungkusan kecil dari kantung jaketku dan mengeluarkan sebatang rokok. Aku membakarnya dengan korek api gas yang daritadi aku genggam. Asap putih keluar secara perlahan dari mulutku, membuat bibirku bak dilanda kekeringan. 

Aku mengarahkan asapnya ke langit. Aku mengotori udara yang selalu dipuja Sadino. Aku mendengus, berharap agar perempuan yang kucintai memaafkan dosaku. 

Aku ingat. Saat itu, kami baru saling mengenal selama enam bulan. Aku mengajaknya ke sini, ke tempatku berdiri sekarang. 

Dia duduk di atas rerumputan yang basah. Dia tak peduli akan tanah dan air yang mengotori celananya. Aku berjongkok di sampingnya. Tiba-tiba, dia menunjuk langit yang terbentang luas di hadapannya. 

"Bintang itu paling terang. Aku menyukainya," katanya kala itu. "Aku mau tinggal di sana." 

"Itu bukan bintang, Sadino. Itu hanyalah gugusan gas," sahutku. 

"Kalau begitu, aku dan kamu akan jadi partikelnya. Kita akan hidup di sana, entah sebagai atom atau molekul. Kita akan menjadi unsur baku," jawabnya. 

Sadino menatapku. "Tapi, aku tidak akan kehilangan kamu di sana, 'kan?" 

Aku tidak menjawab. Aku memilih untuk diam. Aku melirik Sadino. Dia masih menatapku. 

"Kamu bisa kehilangan aku kapan saja," jawabku. "Tapi kamu bisa memilikiku kapan saja." 

Sadino tersenyum. Wajahnya terlihat lega. Dia memeluk kedua kakinya dengan erat. 

"Aku harap kalimatmu barusan adalah janji yang tak pernah terucap," katanya dengan pelan. 

"Hijikata," suara Sadino membangunkanku dari lamunanku. Aku sudah kembali ke realitas. 

Aku berbalik menatap Sadino. Dia sudah mandi dan sudah berganti pakaian. 

"Mana tehku?" tanyanya. 

Aku menepuk dahiku. "Aku lupa. Ayo, kita buat bersama."

Sunday, October 25, 2020

Sadino's Monologue #22



Keadaanku terdesak, El. Pembuluh darahku mengeras. Aku bisa merasakannya. 

Mimpiku seakan binasa tanpa tahu apa penyebabnya. Air mataku keruh, bibirku berdarah, mulutku menolak untuk bicara. 

Mungkin, ini aku yang mati rasa. Kelihatannya, aku terlalu sering digempur bayangan masa lalu yang seharusnya sudah musnah. Tidak, aku hanya mengubur mereka hidup-hidup. 

Dunia terlalu berisik untukku saat ini. Rasanya ingin sekali aku menebas kepala mereka yang banyak bicara. Sumpah serapah, adu mulut yang sebenarnya omong kosong, fitnah untuk kebaikan seseorang... Sungguh melelahkan. 

El, apa yang aku lakukan hingga menit ini? Aku pernah menyakiti hati seseorang. Aku pernah berbohong pada seseorang. Aku pernah meninggalkan seseorang. Semua orang melakukannya, dan mereka juga pernah melakukan hal itu padaku. 

Mungkin, aku sendiri yang memulainya. Mungkin saat itu, perasaanku sedang berserakan. Mungkin juga, aku mendengar sesuatu yang seharusnya tidak aku lihat. 

Kamu benar, El. Aku sedang ingin berkawan dengan bayanganku sendiri. Aku sedang ingin menjadi saksi biksu kehancuran manusia. Ya, ini aku yang intuitif.  

Setiap malam, aku merasa tubuhku remuk dengan sendirinya. Aku seperti mendapat pukulan teruk dari belasan orang yang melampiaskan amarah dengan sengaja. 

Awalnya, aku tidak mempermasalahkannya. Aku mencoba untuk menerima. Tubuh ini hanyalah wadah untuk menampung luka, untuk saling membenci, dan dikorbankan hal-hal yang tidak pasti. 

Apa yang telah aku lakukan?
Kenapa aku ada di sini bersamamu, El?
Kenapa langit tiba-tiba memerah?
Kenapa ada senja?
Kenapa ada samudra?
Kenapa harus kita?
Kenapa harus aku? 


Dunia tidak terbalik. Hidup ini sudah sebagaimana mestinya. Mungkin, aku terlalu angkuh. Mungkin juga, aku terlalu merendah hingga bersatu dengan tanah yang mereka pijak. 
Mungkin, ini egoku yang tak terlahir kembali.

Wednesday, October 21, 2020

Sadino's Monologue #21



"Aku mengejarmu selama bertahun-tahun untuk menghancurkanmu, Sadino." 


Cerita ini adalah sebuah ironi. Tak bisa ditolak, tapi tak bisa aku terima. Mungkin, cerita ini adalah sebuah janji dalam mimpi. Mungkin dia hidup dalam oase di dalam pikiranku. Mungkin juga, dia telah lama mati berdiri di dalam sana. 

***

"Anjing," kedua mata London terbelalak. "Aku salah kirim email." 

Aku bisa melihat London menggigit rokoknya cukup keras. Asap putih dari rokok yang terbakar nyaris menghalangi pandanganku pada wajahnya yang panik. 

"Aku mengirimnya ke atasanku. Seharusnya aku mengirimnya ke Rifky. Goblok," London mengambil rokok dari mulutnya dan meletakkannya di asbak. 

"Memangnya, apa isinya?" tanyaku. 

London menggigit bibir bawahnya. "Laporanku yang belum selesai. Aku minta Rifky untuk menyelesaikannya, lengkap dengan pesan 'Selesein nih, pusing gua, bangsat'." 

Jarum jam dindingku menunjukkan pukul 01.12 pagi. London menggaruk-garuk kepalanya dan mendengus keras. "Aku harus tidur." 

Kalimat barusan lumayan mengejutkanku. London tidak pernah tidur sebelum dini hari. Manajemen waktunya untuk beristirahat cukup bermasalah, tapi dia nyaman dengan hal itu. 

"Kenapa kamu tidak pernah melarangku untuk tidak tidur pagi, Sadino?" tanya London sambil meregangkan tubuhnya. 


Kamu pikir, aku punya hak untuk melakukannya? 


"Seingatku, aku selalu memintamu untuk tidur cepat," jawabku. "Dan jawabanmu selalu 'Nanti, mau baca komik dulu' atau 'Habis ini, ya? Aku mau main game dulu'." 

London kembali mendengus. "Kenapa kamu tidak marah?" 


Dan percakapan ini mendadak menjadi menyebalkan. 


"Kenapa aku harus membuang tenaga untuk marah?" kataku. 

"Itu bentuk perhatianmu. Sadino yang galak adalah Sadino yang perhatian," kata London. 

"Sejak kapan tolak ukur itu tercipta?" ucapku seraya menyeringai. 

"Sejak pertama kali aku bertemu denganmu," jawab London. "Mungkin ingatanmu sedang buruk." 

Tidak, aku ingat semuanya. 


"Ya, gih, tidur sana," kedua mataku kembali tertuju pada laptop. Aku sedang menonton serial Gintama.

London membakar sebatang rokok dan mengembuskannya dengan cepat agar dia bisa membalas omonganku. "Menurutmu, aku lelah, tidak?" 

"Sangat lelah," jawabku dengan kedua mata masih menatap layar laptop, memuja-muja Gintoki dan Hijikata dalam hati. "Kamu hanya tidur tiga sampai empat jam setiap hari, dan kamu bekerja sampai larut malam. Kamu memaksa otakmu untuk bekerja melebihi jam kerjanya." 

London memandangku sambil melepaskan kacamatanya. "Ya, kita sama." 


Aku menarik napas panjang, sadar bahwa mulutku telah salah berucap. 


"Sebenarnya, aku bisa mengerjakan laporan ini nanti siang di kantor," kata London sambil memainkan rokok di tangan kanannya. "Hanya saja, aku ingin merasakan seperti apa menjadi seorang Sadino yang selalu membuang waktunya untuk hal-hal yang menurutnya penting."
 
"Hiburan itu penting. Aku sedang memanjakan diriku sekarang," jawabku ketus. 

"Ah, kamu juga masih suka bekerja sampai dini hari," ucapan London seakan tak mau kalah ketus. 

"Mungkin, bekerja sudah menjadi hiburan buatku," balasku. "Jangan pedulikan sikapku barusan. Aku sedang menjadi orang yang keras kepala." 

London tidak menjawab. Tapi kedua matanya terus menatapku. 

"Mungkin ini juga bentuk relaksasiku," ujarnya. 

Aku memandangnya tanpa suara seraya menanti kalimat apa yang akan keluar dari mulutnya. 

"Memandangimu adalah bentuk relaksasiku. Kamu yang sedang duduk di sana, di depan laptop, tertawa sendiri, dan memuja betapa kerennya Sakata Gintoki dan Hijikata Toshirou," kata London. 

London mengisap rokoknya dan mengembuskan asapnya dengan perlahan. "Tentu saja, sambil mempertanyakan kenapa aku begitu merindukan kamu padahal kita sedang bicara sekarang." 


Kumat. 


"Iya, teruskan saja," jawabku pendek. Mataku masih menatap layar laptop. 


"Oi, Sadino." 


Aku menekan tombol space pada laptop dan menatap London. London mengubah posisi duduknya; dia duduk bersila di atas sofa. Kedua pahanya menopang kedua tangannya. 


"Akan serindu apa aku padamu ketika kita sudah dipisahkan jarak dan waktu?" 


Aku tidak menjawab. Pertanyaannya benar-benar merusak suasana hatiku. 

"Saat aku sudah berada di sana, ketika aku pulang ke apartemenku, membuka pintu, dan tidak menemukanmu sedang duduk di sofa sambil tertawa karena kebodohan Gintoki dan Hijikata, seperti apa rasanya?"

Aku masih tidak menjawab. Kedua mataku masih menatapnya. 

"Dan saat aku melihat jam tanganku yang menunjukkan pukul 19.00 malam, lalu mengingat Jakarta sudah jam 02.00 malam, apakah kamu masih terjaga sambil mengingat-ingat wajahku?" 

"Mungkin," akhirnya aku menjawab dengan memberikan jawaban aman. "Mungkin, aku sedang menonton Gintama."

"Dan merindukan London sambil mencuri-curi pandang ke arah sofa yang kududuki sekarang," London mematikan rokoknya ke asbak. "Aku tidur duluan, ya." 

Kedua alisku terangkat. "Silakan."

London berdiri dan meregangkan tubuhnya. Sambil menggaruk bagian kepalanya, dia melewatiku dengan gontai. 

"Kamu beruntung," ucapnya seraya meraih gelas di meja kecil di samping laptopku. "Ada kehadiranku dalam bentuk ingatan di rumah ini. Di saat kamu rindu, kamu tinggal menoleh ke kiri." 

London menenggak habis air di dalam gelas. Dia kembali meletakkan gelas kosongnya di atas meja. "Sedangkan aku harus kembali berhadapan dengan kenangan yang selalu menghantuiku selama belasan tahun." 

"Apakah itu perlu?" tanyaku. 

"Ingatan itu datang dengan sendirinya, tanpa diminta. Aku kagum dengan inisiatif sebuah ingatan yang selalu datang tanpa permisi," jawabnya. 

London menguap dan menepuk-nepuk kepalaku. "Ironis. Padahal, aku yang selalu mencarimu." 

London menaiki tangga dan menghilang dari pandanganku. Aku kembali menekan tombol space dan kembali menonton Gintama. 

Tak sampai lima menit, ponsel pintarku bergetar. Aku menerima pesan dari London. 


"Sadino, kangen." 

Monday, October 19, 2020

Sadino's Monologue #20


El, temani aku kembali ke bulan Juni 2017. 


Jam tanganku menunjukkan pukul 20.32. Bumi berputar terlalu cepat untuk dilanda kesunyian, dan aku tidak menyukainya. 

London juga merasakan hal yang sama. "Rumah ini perlu diberi suara," katanya. 

London mematikan rokoknya ke asbak dan berjalan menuju piano tua di sudut ruangan. London pernah bilang, itu sudut favoritnya karena dia bebas berlagu sesuka hati di sana. 

London duduk di atas kursi kayu di depan piano. Dia membuka penutupnya dengan perlahan, dan memperhatikan deretan tuts yang telah menunggu untuk disentuh. 

London berdecak. "Aku ingin memainkan instrumental favoritmu. Tapi, aku lupa." 

Aku berjalan mendekat dan memperhatikan kedua tangannya yang sudah mengepal. London kesal, karena dia benar-benar lupa. 

Pandangan London beralih padaku. Dahinya mengernyit, seakan minta pertolongan. 

"Kamu bisa mainkan lagu lain," kataku. 

London menggeleng. "Aku mau memainkan instrumental favoritmu, bukan yang lain." 

Ini kebiasaan buruk London. Untuk membuat orang-orang yang dia sayangi bahagia, dia nekat melakukan apa pun untuk mereka. 

"Satu menit," London mendekatkan telunjuknya pada wajahku. "Jika aku tetap tidak ingat, tampar aku." 

Aku mendengus. London mulai bersenandung sambil memejamkan kedua matanya, mencoba mengingat melodi yang hidup di alam bawah sadarnya. 

"Oke," London meletakkan jemarinya di atas tuts dan tersenyum lebar. "Untuk bahagiamu." 




Jemari London berhenti menyentuh tuts. Dia meletakkan kedua tangannya di atas pahanya, dan kedua matanya menatapku. 

"Aku harap kamu puas meski jemariku tidak lihai memainkannya," ucapnya. "Aku sering memainkan instrumental favoritmu saat aku sedang sendirian. Melodinya menenangkan, dan di waktu tertentu, dua menit yang kuhabiskan untuk menyelesaikan instrumental favoritmu ini berubah menjadi menyedihkan." 

"Menyedihkan, atau menyakitkan?" tanyaku. 

"Kamu mau yang menyakitkan?" London tersenyum tipis. "Versi lain dari lagu ini menurutku menyakitkan." 

Jemari London kembali menyentuh tuts piano. Kali ini, dia memainkan versi lain dari instrumental favoritku dengan jauh lebih fasih meski temponya jadi sedikit lebih cepat. 




London berkeringat saat dia menyelesaikan instrumental tersebut. London menyeka dahinya dan mendengus keras. 

"Ini lebih sulit. Aku harus mati rasa untuk memainkannya. Permainanku berantakan," kata London sambil menggelengkan kepalanya. 

Kedua alisku mengerut. "Kenapa harus mati rasa?" 

London kembali menatapku. "Karena manusia harus mematikan rasa untuk menghilangkan kebingungan. Setelahnya, logika bekerja sesuai dengan realitas. Dari situ, hal-hal yang sebelumnya tak kasat mata dapat terlihat. Bukankah begitu, Sadino?" 

Aku tidak menjawab dan hanya melempar senyum simpul. 

"Instrumental favoritmu ini adalah emosimu, bukan?" 

Ucapan London barusan membuatku jantungku berdegup kencang meski sesaat. 

"Musik adalah bagian dari rutinitasmu, dan instrumental favoritmu adalah bagian lain dari hidupmu yang tak pernah kamu buka. Yang aku mainkan tadi adalah ekspresimu dalam bentuk nada. Itu suaramu." 

Aku memilih untuk bungkam. Aku akui, pernyataan tersebut mengesankan. 

"Kamu pikir aku tidak mempelajari kamu, Sadino?" 

Mata kami beradu. Wajah London begitu yakin akan ucapannya barusan, seakan dia baru saja membawa pulang sebuah trofi yang terbuat dari emas. 

"Apa yang kamu dapat dari risetmu selama ini?" tanyaku. 

London menyeringai. "Kamu yang rapuh, kamu yang remuk." 

London berdiri dan menepuk kepalaku. "Kamu, yang harus aku jaga baik-baik."

Sadino's Monologue #19


El, Londonku pamit. Dia sudah pergi. 

Malam itu, aku pulang cepat. Aku ingin menemui Londonku. Aku sudah tidak sabar. Aku ingin menyentuhnya, aku ingin memeluknya, aku ingin bicara panjang lebar dengannya. 

London berdiri di ambang pintu saat aku tiba di rumah. Dia menyambutku dengan senyuman dan membukakan pagar rumah untukku. Padahal sebelumnya, ketika aku pulang, London hanya duduk manis di depan laptop-nya sambil merokok. 

"Pulang, yuk?" London mengajakku untuk menyambangi rumahnya. Jam sudah menunjukkan pukul 00.12 malam. 

"Aku pikir kamu sudah di rumah," jawabku sambil menaruh tas di atas sofa. 

"Aku tahu rumahku di sana," London menunjuk dadaku dengan dagunya. "Tapi aku harus pulang ke rumah." 

Aku paham, El. London ingin menghabiskan waktu yang tersisa dengan keluarganya dan aku tidak melarangnya. 

"Aku pikir, aku di sini saja. Besok pagi aku ke rumahmu," kataku. 

"Rumahmu di sini," London menunjuk dadanya. "Aku bisa merasakan napasmu di sini." 

***
 

London memutuskan untuk tidak pulang dulu. Kami berbincang dan tertawa hingga pukul 03.00 pagi. 

"Kelihatannya aku benar-benar harus pulang," London berdiri dan meregangkan tubuhnya. "Sampai bertemu di rumah keduamu, manis." 

*** 

Perbincanganku dengan ibunya London sangat menyenangkan pagi itu. Wanita cantik itu bernama Elinda, berjiwa muda, dan selalu memakai jam tangan meski di rumah saja. Sejak dulu, dia selalu memanggilku dengan sebutan 'Chacha', entah apa alasannya. 

"Cha, nanti kita nyusulin London aja. Kita temenin dia, minta ditraktir di Harrods," katanya. 

Aku hanya tersenyum hampa. Entah kenapa aku enggan untuk menyusul London ke luar negeri. 

Mataku beralih pada London yang sedang sibuk memainkan ponsel pintarnya. Pagi itu, London mengenakan parka hijau army, kaus hitam panjang, skinny jeans hitam yang robek di bagian dengkul, dan sepatu Nike Air Force One putih favoritnya. 

Di sampingnya, terdapat empat koper dengan warna yang berbeda-beda. Yang paling besar berwarna biru tua, dan London bilang isinya adalah sepatu-sepatu kesayangannya. 

"Kamu tidak membawa buku-buku harianmu?" tanyaku. 

London menggeleng. "Jaga mereka untuk aku, ya." 

London mendengus dan menatapku. "Aku mau bicara. Mam, Chacha aku pinjam dulu sebentar." 

Tante Elinda menepuk bahuku dan mempersilakanku untuk mengikuti London ke lantai dua, ke kamarnya. 

London membuka pintu kamarnya dan menyuruhku untuk duduk di atas tempat tidurnya. London duduk di sebelahku, dan kami pun saling memandang. 

London diam seribu bahasa. Dia menatapku, tapi tatapannya kosong. Pikirannya berkecamuk seraya mencari kalimat yang tepat dan pantas untuk diucapkan padaku. 

"Kamu harus senang karena kamu mendapatkan hidupmu kembali sekarang," kata London. "Kamu tidak punya alasan lagi untuk pulang cepat dan memikirkan orang lain yang sedang menantimu di rumah." 

Aku tidak menjawab. Aku pikir, ada baiknya aku menikmati drama yang sedang dipentaskan London. 

"Aku tidak akan bicara banyak. Aku juga tidak akan menyakitimu dengan kata-kata. Keadaanmu sekarang sedang membunuhmu pelan-pelan. Aku tidak mau menambah masalah." 

London mendengus. "Ini urusanku. Ini perasaanku, dan bukan urusanmu. Tapi perasaanmu, adalah urusanku. Aku hanya ingin kamu bahagia, dan aku tahu kamu punya cara untuk berbahagia. Aku tidak tahu bagaimana kamu melakukannya. Demi Tuhan aku ingin tahu. Tapi kamu, dan rahasiamu itu, tidak akan aku ganggu gugat." 

London memamerkan telapak tangannya di depan wajahku. "Bahagiamu, kesedihanmu, kekecewaanmu, amarahmu, lukamu, di sini," dan London mengepalkan tangannya. "Di dalam genggamanku, dan aku menyimpannya untuk dijaga." 

London mendengus untuk yang kedua kalinya. "Teruslah menjadi Sadino yang seperti biasanya. Sadino yang sok kuat, yang banyak tingkah, yang mahir menyembunyikan perasaannya. Kamu tidak sehebat itu, tapi kamu cukup pintar untuk melakukannya. Aku kagum." 

"Aku sayang sama kamu," jawabku tanpa memikirkan efek dari kalimat barusan. 

London terdiam. Kedua matanya menatap kosong lantai yang terbuat dari kayu. Ia mendongak, memandang pintu kamarnya yang terbuka lebar, dan berdecak. 

"Terima kasih telah menjawab rasa penasaranku selama belasan tahun ini, Sadino." 

***
 

"Kamu benar tidak mau ikut ke bandara?" 

Ucapan Tante Elinda seakan memohon. Tujuannya, agar kondisi putranya tetap stabil. 

Aku menggeleng. "Tidak, Tante. Nanti aku pesan Uber setelah kalian pergi." 

London menepuk bahu ibunya, mengisyaratkan untuk segera masuk ke dalam mobil. 

Hatiku hancur. Melepas kepergian seseorang yang ingin menggapai mimpinya seperti merelakan diriku untuk berhenti merokok. Padahal, berhenti mengisap racun berupa asap baik untuk kesehatan. 

"Aku pergi," London menepuk-nepuk kepalaku. "Jangan rindu." 

Aku berdecak dan menunduk. Ini berat. 

"Heh," London menyentil dahiku. "Jangan begitu." 

London menghempaskan dadanya pada wajahku. Wangi tubuhnya benar-benar menyebalkan. 

London menundukkan kepalanya, mendekatkan bibirnya pada telingaku dan membisikkan sebuah kalimat pemungkas. 

"Aku lebih hancur dari kamu."


London mengecup pipiku dan melepaskan pelukannya. Dia kembali menunduk dan menatapku, menyisakan jarak dua jengkal di antara kami. 

"Sampai kapan pun, kamu tetap si cantik punyaku," bisiknya. "Aku meninggalkan sesuatu di ponsel pintarmu. Tolong dicari." 

London berbalik dan berjalan menuju mobil. Tanpa menoleh ke belakang, London masuk ke dalam mobil dan menutupnya dengan kencang. Aku melambai pada mobil yang perlahan bergerak maju, dan tetap berdiri di tempat hingga mobil SUV yang dikendarai ayahnya menghilang dari pandangan. 

Aku menarik napas panjang. Tanganku bergerak mencari bungkus rokok di saku celanaku. Aku mengambil sebatang rokok, dan membakarnya dengan tangan yang gemetar. 

Asap putih menyembur dari mulutku. Aku berdecak, seraya menyiapkan mentalku untuk berdamai dengan kekecewaan yang baru saja terjadi. Aku tidak siap, tapi London memaksaku untuk menerima pahitnya ucapan selamat tinggal. 


Bajingan kamu, London. Bajingan.

Sunday, October 18, 2020

Sadino's Monologue #18



"She was a hybrid moon, a playground of grief.
A queen searching for her star." 


Kalimat itu adalah quote dari Rune Lazuli. Dan kalimat itu ditulis oleh London di buku hariannya baru-baru ini. 

Sejak pukul 00.12, aku terus mendengarkan lagu berjudul "Breathturn" milik Hammock sambil membaca buku harian London yang dia berikan padaku. 

Sebenarnya, buku harian ini sudah dia berikan padaku sebagai hadiah ulang tahunku yang ke-15 kalau aku tidak salah ingat. Tapi, aku mengira buku dengan sampul ini hitam ini hanyalah sebuah catatan kosong yang harus aku isi. Jadi, aku tidak membukanya sama sekali sampai akhirnya, London membawa buku ini kembali ke pelukannya. 

London kembali memberikan buku ini padaku akhir tahun lalu. Bukan main bersalahnya aku karena tidak membukanya sama sekali saat itu. London pun mengaku kesal, tapi dia memilih untuk melupakannya. 

Buku ini ditulis saat London sedang berada di Selandia Baru. Saat itu, dia sedang pergi berlibur dan merindukan aku. Namaku tertulis di setiap halaman buku ini, dan hal itu membuatku sedih karena aku tidak merasakan apa yang dia rasakan saat itu. 

Untuk beberapa hal, London terlalu tulus. Dia memilih untuk mengalahkan egonya, menjadikannya sebagai musuh, dan menjauhinya. 

Pertemuanku dengan London bukanlah sesuatu yang direncanakan. Kami dipermainkan waktu, hingga akhirnya kami bertemu di saat kami sedang merasa risau. 

London tidak banyak berubah. Dia masih enggan untuk menyisir rambutnya. Hanya saja, sudah tidak ada lagi anting yang menggantung di bibirnya. Dia bilang, hal itu lama-lama menyebalkan. 

London masih suka menulis. Aku melihatnya sendiri, buku hariannya semakin banyak. Dia meletakkannya di atas rak buku di samping tempat tidurnya, dan banyak di antaranya yang berkawan dengan debu. 

"Mau kamu apakan teman-temanmu ini, London? Mereka terlalu antik untuk tidak kamu bersihkan," tanyaku kala itu. 

"Mereka adalah pengingat bahwa aku pernah melakukan hal yang seharusnya tidak aku lakukan. Mereka juga mengingatkan bahwa jalan yang aku ambil tidak semuanya salah. Aku hanya terjebak di tengah-tengah semak belukar yang menghalangi jalanku menuju hal-hal yang selama ini aku cari," jawabnya. 

Seraya membakar rokok yang sudah cukup lama berada di dalam genggamannya, London tersenyum menatapku. "Kadang, aku terlalu lama terluka di suatu tempat. Aku juga mengobati diriku terlalu lama, sampai akhirnya aku memilih untuk tetap berada di tempatku terluka." 

"Jadi, buku-buku ini adalah pameran tentang pencarian jati dirimu?" tanyaku. 

London menggeleng. "Tidak juga. Tapi, masing-masing buku sudah kuselipkan jiwaku. Jadi, ketika kamu membuka satu di antaranya, kamu akan bersatu denganku." 

"Oh, aku pikir aku sudah bersatu dengan kamu," kataku sambil duduk di atas tempat tidur. 

"Memang sudah, kok," London tersenyum. "Kamu ibarat buku harian utamaku yang menjadi saksi hidupku dan selalu kujaga baik-baik." 

Tidak. Jawaban London tidak berlebihan. Begitulah cara London mengekspresikan sebuah rasa; murahan dan terlalu jujur. 

"Sadino," London menatapku. "Di mana kamu selipkan jiwamu?" 

Aku mendengus. "Di suatu tempat yang tidak akan bisa kamu temukan. Aku juga lupa jalan untuk ke sana." 

London tersenyum simpul. "Percayalah, aku akan nekat untuk menemukan tempat itu tanpa kamu."

Sadino's Monologue #17


El, aku akan mengajakmu berjalan-jalan sebentar. Mau, ya? 


Angin dingin pada malam itu tidak menghentikanku untuk pulang ke rumah. Hujan terus turun seakan tak mengenal waktu, membasahi bumi, dan pikiran mereka yang sedang bermimpi. 

Bukan main bahagianya aku ketika aku melihat London berdiri di ambang pintu. Dengan kedua tangan terlipat di depan dadanya, London tersenyum tanpa suara, menyambutku yang sudah tidak sabar untuk segera didekapnya. 

Ujung bibirku bergerak dan aku sadar aku sedang membalas senyumnya. Dengan cepat, aku membuka pintu pagar rumahku, menutupnya, dan menghampiri London. 

Sebatang rokok terselip di antara telunjuk dan jari tengah tangan kanannya. London menundukkan kepalanya agar bisa melihatku yang tengah semringah dengan jelas. Bola matanya yang hitam seakan berbinar di mataku. 

Aku seperti anak kecil yang baru saja pulang sekolah dan sudah tidak sabar untuk segera bertemu dengan ibuku, kala itu. Kedua tanganku menggenggam erat tali tas yang melingkar di bahuku, mencoba meringankan beban di punggungku yang sudah aku pikul sejak satu jam yang lalu. 

Bibirku bergerak untuk menyapa London, tapi dia memotongku. 

"Aku pergi akhir pekan ini." 


Mata kami saling menatap. Mulutku terbuka, tapi tidak ada kata yang keluar. Aku mendadak bisu. 

London masih menatapku tanpa suara. Dia masih tersenyum, seakan apa yang ia ucapkan barusan bukanlah hal yang penting. Dia terlihat tenang, seperti London yang tak punya beban. 

"Biasanya, emosimu langsung memuncak saat mendengar hal-hal yang tidak ingin kamu dengar," London menyindirku. Suaranya masih terdengar tenang seperti biasanya. 

Aku sadar kedua mataku terus bergerak ke kanan dan ke kiri. Aku menundukkan wajahku dengan cepat, dan kini kedua mataku menatap lantai tempatku berpijak. Aku perhatikan sepatu putihku yang kotor. Aku pikir, aku harus mencucinya. Tapi, pikiranku kosong, entah apa yang aku pikirkan. 

Mendadak, aku mati rasa. Seperti terkena serangan jantung secara mendadak, jantungku seperti diremas dan dirobek di saat yang bersamaan. Pedih, tapi tak berdarah. 

Hening. Kami tak bersuara. Angin menerpa tubuhku, entah itu sindiran atau bukan. Mungkin, angin mengisyaratkanku untuk segera menjawab pertanyaan London. Tapi, aku tidak punya jawaban. Mendadak, aku buta aksara. 

Aku tidak tahu apakah London masih menatapku atau tidak. Dia tidak bergerak, dan tubuhnya masih bersandar pada pintu. 

"Yang rapuh itu bukan cuma kamu." 

London berjongkok. Kepala menengadah melihatku. London masih tersenyum, tapi air matanya telah membasahi pipinya. 

"Hatiku, pikiranku, dan tubuhku, ternyata jauh lebih rapuh dari kamu."


Air mata London bergerak turun ke dagunya, seakan berlomba, siapa yang akan membentur tanah terlebih dahulu. London terlihat berusaha tenang. Dia berulang kali mengatur napasnya. Tapi, kekecewaan dan kesedihannya meronta ingin diperlihatkan. Dia tidak bisa menahannya, dan pada akhirnya, London membebaskan mereka. 

Tangan kananku bergerak. Jemariku kini menyentuh rambutnya yang acak-acakan, mencoba merapikannya, tapi percuma. Aku menelan ludah dan menarik napas panjang, mencoba menjinakkan emosiku yang sudah tidak karuan. 

Ternyata, aku tidak bisa. Aku menyerah. Wajah kami sama-sama basah sekarang. 

"Setelah bertahun-tahun lamanya, aku menemuimu hanya untuk berpisah denganmu,"
kata London. 

"Selama ini, waktu yang aku buang untuk kamu ternyata masih belum cukup.
Ternyata, aku masih rindu." 


Aku menarik tanganku yang telah mengepal. Kedua tanganku sekarang saling menggenggam. 

"Mungkin aku dikutuk.
Karena di saat aku menatapmu seperti ini, aku masih merindukan kamu."
 

"Aku ingin tidur, London," ucapku tiba-tiba. "Aku lelah."

"Silakan, kalau kamu bisa," London berdiri dan meregangkan tubuhnya. "Tapi janji, hari ini kamu bisa tidur pulas." 

Aku tidak menjawab dan kembali menelan ludah. Aku benar-benar kehabisan kata-kata. 

"Aku tidak perlu jawaban dari kamu, Sadino," London menjawab pertanyaan di pikiranku. "Aku hanya butuh kamu. Kamu yang kuat, kamu yang mandiri." 

London mempersilakanku masuk ke dalam rumah, seakan-akan ini adalah rumahnya. Aku berjalan masuk, menaruh tasku di sofa, melepas jaketku, dan melemparnya ke sebelah tasku. 

"Tunggu. Aku punya pertanyaan dan aku perlu jawabannya," kata London sambil menutup pintu. 

Aku menatapnya dengan kedua alis terangkat. London bersandar pada pintu yang barusan dia tutup dan kembali melipat kedua tangannya di depan dadanya. 


"Kenapa Sadino yang biasanya acuh tak acuh pada London,
berdarah lebih cepat saat London mengucapkan selamat tinggal?"

Sadino's Monologue #16


Rasa itu rumit ya, El?
Tak bisa disentuh, tak bisa dilihat, tak bisa ditafsirkan,
dan hanya bisa dialami. 

Teruntuk sebuah rasa, aku merasa gugup. Aku sudah lama tidak merasakan hal ini. Oh, aku tidak akan mengatakannya padamu, El. Toh, kamu juga sudah tahu. 

Aku tidak bisa mendefinisikan sebuah rasa. Rasa itu mengalir, kadang meneduhkan, kadang menghancurkan. Aku tidak bisa menjelaskan apa yang aku rasakan sekarang. Mendadak, aku merasa seperti buta bahasa. 

Mungkin, aku sudah mati rasa terlalu lama, El. Aku bingung harus mulai dari mana untuk membenahi hal ini. Apakah aku harus menerima dan menelan semua hal yang berkaitan dengan perasaan, atau menolaknya dengan sopan. 

Kelihatannya, aku telah mengabaikan perasaanku dalam waktu yang cukup lama. Aku menjadi tidak peka, berbuat semauku, dan bicara sesukaku.  

Aku selalu mendahulukan orang lain, El. Akukalau boleh jujurnyaris tidak pernah memikirkan perasaanku sendiri. 

Aku pikir, tidak ada manusia yang mau mendengarkan cerita manusia lain dengan tulus. Kalau pun hal itu dilakukan, manusia melakukannya untuk menuntaskan rasa ingin tahu mereka atau hanya sekadar disebut 'perhatian'. 

Aku tidak ingin bicara banyak mengenai rasa. Meski aku ingin mengelaborasi apa yang aku rasakan saat ini, aku lebih memilih untuk menyimpannya rapat-rapat. 

Alasannya, karena aku mudah terluka, El. Menjabarkan sebuah rasa sama dengan menguliti diri seseorang hidup-hidup. 

Apakah rasa ini melibatkan seseorang?
Jujur, ya.

Apakah orang ini tahu kalau dirinya terlibat?
Mungkin, dan aku tidak mau dia pergi.

Friday, October 16, 2020

Sadino's Monologue #15


Aku benci dengan orang yang buta cinta, El.
Tapi, aku tidak bisa menyalahkan mereka. 


Beberapa hari lalu, seorang temansebut saja Guiraudbercerita tentang kehidupan cintanya yang rumit, El. Dengan antusias, aku mendengarkan kisahnya yang pilu itu. 

Yang dialami oleh Guiraud cukup pelik, El. Bukan karena perempuan yang dia cintai, tapi keputusannya untuk melebur dengan tanah yang dia pijak. Dia memilih untuk bersatu dengan humus yang mengandung unsur hara; membentuk sebuah jaringan kehidupan yang baru, tapi tidak tahu mau diapakan. 

Guiraud terjebak di dalam zona nyamannya. Logikanya mati, karena perasaannya dipaksa untuk bekerja keras setiap hari. Guiraud mempertahankan apa yang dia miliki, menjadikan hal itu sebagai tanggung jawabnya, tapi membunuhnya secara perlahan. 

Kadang, manusia tidak sadar bahwa cinta itu memiliki kemampuan untuk membutakan dan mengambil alih kendali yang selama kita pegang teguh, El. Cinta itu memperkaya sebuah rasa, kehidupan, tapi kadang menjemukan, dan menghancurkan. 

Permasalahan terbesar Guiraud adalah, dia tidak bisa membaca dirinya sendiri. Dia tidak tahu apa yang dia butuhkan, dan dia haus akan cinta. Itu bodoh, El. Dahaga yang dia rasakan itu tidak akan pernah bisa sembuh jika Guiraud tidak mau mencari penawarnya. Ya, Guiraud memilih untuk berhenti minum untuk melukai kerongkongannya. 

Fenomena ini normal, dan kamu pasti sering melihatnya, El. Demi kebahagiaan, manusia kadang berkorban terlalu jauh dan terlalu besar tanpa memedulikan diri mereka sendiri. Menurutku, seharusnya logika dan perasaan itu harus dilahirkan dalam keadaan yang imbang, bukan main hakim sendiri. 

Jika hal itu terus terjadi, manusia akan tunduk pada ego. Manusia akan mengalah pada hal-hal yang bersifat fana. Di saat yang sama, realitas memberikan tuntutan yang tidak mengenal waktu dan keadaan. Akibatnya, sebuah ledakan kejiwaan terjadi, membunuh insting yang mengubah pola pikir seseorang menjadi tidak waras. 

Aku menyalahkan Guiraud yang merendahkan dirinya hingga di bawah nol, El. Dia berhak untuk bernapas, dia berhak untuk bergerak bebas. Itu hak yang dia dapat sejak tangisannya menggema di ruang operasi, beberapa detik setelah ibundanya berjuang melawan kematian. 

Ini kompleks, El. Tapi, jika logika berada di posisi yang setara dengan perasaan, aku yakin Guiraud mampu memutuskan hal yang baik untuk hidupnya. Aku hanya menyayangkan Guiraud yang pintar tunduk pada perempuan yang lebih mementingkan egonya untuk bahagia. Itu tidak adil, El. 

Terserah saja, El. Manusia bebas untuk berpendapat, dan ini pendapatku. Pandangan setiap orang tentu berbeda, dan aku tidak mempermasalahkan itu, sebenarnya. 

Mungkin, aku hanya peduli pada seseorang yang memedulikan orang lain, El.
Mungkin saja.