Thursday, February 7, 2019

Pulang.

Saat kebencian mengalahkan doa,
saat hitam perlahan menghapus putih,
kamu berdiri di sana,
dan melebur denganku.

Aku,
yang tengah terpaku membeku,
merintih, mencoba melagu,
kelu, tapi ingin ditunggu.

Kamu membawaku pergi jauh dari sana.
Aku yang sedang berlinang air mata,
merebutku dari mimpi yang sedang merona,
mencegahku membusuk dengan asa sekuat baja.

Dalam dekapmu aku bicara,
bahwa rasa muncul tanpa rencana,
tanpa peringatan,
tanpa campur tangan aksara.

Aku pernah berjanji dengan diriku sendiri,
untuk selalu mencintai manusia,
meninggikan mereka, mengampuni mereka,
dan menjadi saksi bisu akan perjalanan hidup mereka.

Ikrarku adalah peluru yang bersarang di urat nadimu.
Genggam aku hingga mendarah daging.
Renggut aku dari ketakutanku.
Jaga aku baik-baik dalam doamu.

Kamu adalah perahu tanpa layar,
terombang-ambing saat senja berganti warna,
menerjang ombak, membunuh duka,
seraya  menunggu malam tiba tanpa aba-aba.

Ini bahagiaku,
harga mati dalam hidup yang semu.
Ini surgaku,
penghargaan terbesar dalam sejarah perjalananku menemukan rasa.

Kamu adalah badai tanpa derita.
Kamu adalah wadah berisi nyawa.
Kamu adalah hujan di tengah samudra.
Kamu adalah racun untuk mengobati luka.

Terima kasih, kamu membiarkan jiwa dan ragaku berburu.
Terima kasih, kamu mau melukis aku hingga lupa waktu.
Terima kasih, telah mendengarkan lantunan keluh kesahku.
Terima kasih, telah berbagi ruang kosong denganku.

Terima kasih sudah memperlihatkan rasa takutmu.
Tetap di sana, samakan ritme napasmu denganku.
Terima kasih, atas tempat tinggal yang nyaman,
hingga membuatku selalu ingin pulang.

Entitas.

Manusia,
lahir dari rasa,
dengan atau tanpa cinta,
berbentuk, berwatak, dan bermasa depan.

Kau melihat karena punya karsa.
Dituntut, dipaksa, tanpa perlindungan.
Dari pagi, hingga mataharimu raib dari sudut mata,
tanpa perlawanan, tanpa paksaan.

Kau dipaksa untuk merengkuh ketakutanmu.
Rasa yang kau kubur hidup-hidup,
rasa sakit yang tak bisa dirasakan manusia lain,
yang mana orang tuamu tak pernah ajarkan selama kau hidup.

Kau diserang, lebih cepat dari cahaya.
Kau terbakar, dalam api unggun tak bertuan.
Berharap rasa menghilang,
berharap mendapat pertolongan.

"Sembuhkan aku," pintamu pada bayanganmu.
Tidak ada yang bisa menyelamatkanmu kecuali nalarmu.
Bangkit dan pergi dari sana sekarang.
Pergi jauh dari sana, cuci lukamu.

Kau berlari, menggenggam erat resahmu sebagai sebuah makhluk.
Sampai kau tiba di kaki langit,
bertanya-tanya hingga pucat dan membiru,
lalu menyadari, bahwa kau hidup dan tak kehilangan akal sehatmu.

Berhentilah.
Berhenti mematahkan tulang-tulangmu untuk belajar mencintai rasa.
Berhenti menghirup abu untuk melarutkan mimpi burukmu.
Kau adalah selebrasi untuk wujud sempurnamu.

Manusia,
sebagai entitas,
disegani, dipuja, dan disakiti,
hidup mandiri dari sakit hati.

Manusia,
bergeming, berpeluh, berduka,
bernapas dan berdarah,
untuk manusia, dari manusia.