Monday, December 21, 2020

Sadino's Monologue #26


Aku hidup di dunia yang tak berbatas, begitu juga kamu. 

El, aku mengharapkan tak ada lagi keterbatasan akan sebuah pemikiran. Batas yang dibuat sendiri oleh manusia itu menghancurkan sebenarnya. Manusia jadi merasa kecil di dunia yang besar. Manusia jadi merasa takut untuk melangkahkan kaki mereka. 

Aku pikir, setiap manusia berhak untuk berjalan menuju tempat yang mereka inginkan. Manusia juga berhak untuk diam di tempat dan menyakiti tubuh mereka dengan hal-hal yang tak kasat mata. 

Mimpiku kerap bertabrakan dengan hal-hal yangbisa dibilangsesuatu yang tidak lumrah. Tapi, manusia adalah konseptor terbaik yang pernah diciptakan. Lalu, kenapa banyak manusia yang merasa tersingkir dari sebuah lingkaran yang seharusnya menampung pemikiran-pemikiran dahsyat mereka? 

Perlukah induksi? Haruskah hal-hal yang ada di sekitarku didasari dengan fenomena yang hanya terjadi seratus tahun sekali? Itu tidak adil, El. 

Manusia merasa mereka selalu terikat akan sesuatu yang mereka anggap suci. Padahal, kesucian mengikat mereka dan menjadikan mereka sebagai binatang bertubuh manusia. Kadang aku hanya tersenyum menunggu kebebasan. Tapi, aku juga tahu itu percuma, El. 

Aku tidak mengatakan manusia itu bodoh. Mungkin, fungsi beberapa organ di mereka hanya dimatikan sementara untuk berbaur dengan keadaan. Aku paham dan aku tidak mengatakan itu salah. Hanya saja, manusia terlalu takut hidup sendiri hingga mereka ingin bersatu dengan kejahatan yang dibalut dengan kebaikan. 

Kau mempertanyakan aku, El? Aku tidak bisa menjawab. Bertahun-tahun aku hidup dan berdamai dengan formalitas. Jadi, aku rasa aku bisa berlari tanpa beban melewati semak berduri. 

Aku rasa, kamu juga bisa melakukannya, El. Tapi untuk sementara ini, mungkin kalimat yang kita berdua ucapkan hanya sebatas kiasan. Agar kita lebih tangguh, agar kita menghargai daun-daun yang telah gugur dan berserakan tanpa tahu apa penyebabnya.