Sunday, October 18, 2020

Sadino's Monologue #18



"She was a hybrid moon, a playground of grief.
A queen searching for her star." 


Kalimat itu adalah quote dari Rune Lazuli. Dan kalimat itu ditulis oleh London di buku hariannya baru-baru ini. 

Sejak pukul 00.12, aku terus mendengarkan lagu berjudul "Breathturn" milik Hammock sambil membaca buku harian London yang dia berikan padaku. 

Sebenarnya, buku harian ini sudah dia berikan padaku sebagai hadiah ulang tahunku yang ke-15 kalau aku tidak salah ingat. Tapi, aku mengira buku dengan sampul ini hitam ini hanyalah sebuah catatan kosong yang harus aku isi. Jadi, aku tidak membukanya sama sekali sampai akhirnya, London membawa buku ini kembali ke pelukannya. 

London kembali memberikan buku ini padaku akhir tahun lalu. Bukan main bersalahnya aku karena tidak membukanya sama sekali saat itu. London pun mengaku kesal, tapi dia memilih untuk melupakannya. 

Buku ini ditulis saat London sedang berada di Selandia Baru. Saat itu, dia sedang pergi berlibur dan merindukan aku. Namaku tertulis di setiap halaman buku ini, dan hal itu membuatku sedih karena aku tidak merasakan apa yang dia rasakan saat itu. 

Untuk beberapa hal, London terlalu tulus. Dia memilih untuk mengalahkan egonya, menjadikannya sebagai musuh, dan menjauhinya. 

Pertemuanku dengan London bukanlah sesuatu yang direncanakan. Kami dipermainkan waktu, hingga akhirnya kami bertemu di saat kami sedang merasa risau. 

London tidak banyak berubah. Dia masih enggan untuk menyisir rambutnya. Hanya saja, sudah tidak ada lagi anting yang menggantung di bibirnya. Dia bilang, hal itu lama-lama menyebalkan. 

London masih suka menulis. Aku melihatnya sendiri, buku hariannya semakin banyak. Dia meletakkannya di atas rak buku di samping tempat tidurnya, dan banyak di antaranya yang berkawan dengan debu. 

"Mau kamu apakan teman-temanmu ini, London? Mereka terlalu antik untuk tidak kamu bersihkan," tanyaku kala itu. 

"Mereka adalah pengingat bahwa aku pernah melakukan hal yang seharusnya tidak aku lakukan. Mereka juga mengingatkan bahwa jalan yang aku ambil tidak semuanya salah. Aku hanya terjebak di tengah-tengah semak belukar yang menghalangi jalanku menuju hal-hal yang selama ini aku cari," jawabnya. 

Seraya membakar rokok yang sudah cukup lama berada di dalam genggamannya, London tersenyum menatapku. "Kadang, aku terlalu lama terluka di suatu tempat. Aku juga mengobati diriku terlalu lama, sampai akhirnya aku memilih untuk tetap berada di tempatku terluka." 

"Jadi, buku-buku ini adalah pameran tentang pencarian jati dirimu?" tanyaku. 

London menggeleng. "Tidak juga. Tapi, masing-masing buku sudah kuselipkan jiwaku. Jadi, ketika kamu membuka satu di antaranya, kamu akan bersatu denganku." 

"Oh, aku pikir aku sudah bersatu dengan kamu," kataku sambil duduk di atas tempat tidur. 

"Memang sudah, kok," London tersenyum. "Kamu ibarat buku harian utamaku yang menjadi saksi hidupku dan selalu kujaga baik-baik." 

Tidak. Jawaban London tidak berlebihan. Begitulah cara London mengekspresikan sebuah rasa; murahan dan terlalu jujur. 

"Sadino," London menatapku. "Di mana kamu selipkan jiwamu?" 

Aku mendengus. "Di suatu tempat yang tidak akan bisa kamu temukan. Aku juga lupa jalan untuk ke sana." 

London tersenyum simpul. "Percayalah, aku akan nekat untuk menemukan tempat itu tanpa kamu."

No comments:

Post a Comment