Thursday, October 15, 2020

Lou


"...Got me thinking, been a long time, since the last time, I feel sincerely loved. Got me thinking, how could I still feel the vibe, while I don't even remember, how does it feel?"

Bagian pertama lagu "Thinking, Thinking" milik Teddy Adhitya itu membuatku terpaku. Musiknya mengalun lembut di telingaku, membangkitkan memori akan seseorang yang pernah hidup bersamaku beberapa waktu lalu.
Aku mendengarkan "Thinking, Thinking" dari ponselku menggunakan headphone sambil duduk sendirian di dermaga yang tak lagi terpakai. Tak ada suara lain di sini, selain lagu yang kudengarkan dan tenangnya suara ombak.
Emosional sekali aku, dan ini masih pukul lima pagi, pikirku dalam hati. Aku nyaris menyalahkan Teddy Adhitya akan kehadiran "Thinking, Thinking". Alasannya, lagu tersebut merepresentasikan apa yang aku rasakan selama satu bulan terakhir ini, dan itu menyebalkan.
Aku menghela napas panjang sambil memejamkan mata. Bau air laut membuatku tenang, setenang orang itu saat dia menghancurkan hidupku di tempat sini.
"Aku tidak punya pilihan. Ini mimpiku, dan aku tak mau kau menungguku," kata dia kala itu.
"Persetan dengan waktu. Kau hanya ingin menyerah dan aku mengerti," ucapku.
"Kau tidak akan pernah mengerti. Aku hidup untuk membuat mimpi-mimpiku menjadi nyata, dan mimpi setiap orang berbeda. Kau tidak akan bisa memahami mimpi-mimpiku, dan aku tidak memaksamu untuk itu. Mengertilah, aku akan pergi jauh darimu dan aku tidak bisa menjagamu."
Aku membuka mata. Jantungku berdegup cepat mengingat betapa tenangnya dia saat memutuskan semuanya sendiri. Dia bahkan tak menatap wajahku saat mengatakannya. Setelah aku menganggukkan kepalaku untuk menuruti permintaan terakhirnya, dia pergi tanpa menoleh padaku. Dia benar-benar meninggalkan aku sendiri, di tempat aku duduk sekarang.

"I think I wanna be loved again. I just wanna feel love again. I miss the feeling of a hug, even I'm not hugging. I miss the feeling of a kiss, even when you're far away."

Sialan sekali bagian ini. Andai saja waktu itu, Rayi tidak bilang padaku kalau Lou sedang berada di kota ini, aku tak mungkin memikirkannya sampai sekarang.
Aku tak ingin bertemu dengannya. Dendam itu masih ada meski aku dan Lou tak lagi terikat. Lucu, mengingat aku merasa sudah memaafkannya dengan tulus.
Semalam, saat aku tiba di rumah, adikku bilang Lou datang seorang diri. Sekitar, dua jam sebelum aku pulang. Tololnya, adikku mempersilakan Lou untuk menungguku di rumah. Untungnya, Lou sadar diri untuk tidak menungguku pulang. Dia pun pergi setelah bercakap-cakap sebentar dengan adikku.
"Kau masih marah padanya?" tanya adikku. Dia menatap kedua mataku.
"Entahlah. Aku pikir, kami tak perlu bertemu lagi dan saling bertanya kabar. Itu tak penting," jawabku.
"Bagaimana jika hal itu penting untuk Lou?" adikku kembali bertanya.
"Aku tak mau berdebat soal ini," aku tersenyum dan berjalan menuju kamarku.
Adikku sempat mencegahku pergi dengan mengatakan, "Kau tak mau tahu apa yang aku bicarakan dengan Lou?" Aku membalasnya dengan menggeleng dan berlalu.
Kehadiran Lou-lah yang membuatku pergi diam-diam dari rumah pada pukul tiga pagi. Aku tak bisa tidur. Aku tidak mau Lou kembali mencariku. Melewati satu tahun tanpa Lou, melelahkan sekali rasanya. Aku sudah berusaha keras melupakanya, dan aku tidak mau kehadirannya menghancurkan usahaku selama ini.
Tapi, aku tahu dia. Lou adalah orang yang mau berusaha keras agar impiannya tercapai. Dia tak akan semudah itu menyerah. Dia pernah bilang, "Aku harus mendapatkan apa yang aku inginkan. Aku akan melakukan apapun untuk mendapatkannya."
Dan itu yang Lou lakukan saat dia pertama kali bertemu denganku.

"Got me thinking, how come I never feel the same?
Why is it so hard to find the one, again?"

Lagu "Thinking, Thinking" berhenti mengalun beberapa detik setelah bagian itu. Aku menarik napas panjang seraya melepas headphone dan menaruhnya di sampingku, tepat di atas ponselku. Kepalaku menoleh pelan ke kanan, dan pikiranku tentang Lou terbukti.
Aku dan Lou saling menatap. Dia memandangku tenang. Entah pukul berapa sekarang, yang jelas langit sudah tak begitu gelap dan aku bisa melihat Lou dengan jelas. Wajah yang kurindukan, wajah yang tak ingin kulihat.
Tak ada yang bicara. Kami masih saling memandang. Ombak masih bergerak tenang, berdebur pelan seakan mengerti bahwa mulut kami berdua butuh waktu untuk mengeluarkan suara.
Lou melirik ke arah ponselku. "Kau tak akan tahu aku sudah duduk di sini dari tadi jika aku tidak mematikan lagu yang sedang kau dengarkan. Password-mu ternyata tak pernah berubah."
"Ya, tanggal ulang tahunmu. 061288," ucapku.
Kami kembali bergeming. Aku bisa mendengar suara detak jantungku sendiri sekarang. Ternyata, kami masih berada di dalam frekuensi yang sama.
"Sama seperti lagu yang kau dengarkan terus daritadi," Lou menatap ke arah semburat matahari di depan kami. "How could I still feel the vibe? We didn't talk to each other for a long time. Aku bahkan tahu kau pasti di sini pagi ini. Kalaupun kau tak ada, aku akan menunggumu di sini sampai kau datang."
Aku menatap laut yang membentang luas di hadapan kami. Matahari sudah mengintip. Tanpa suara, aku menaikkan pundakku, sebagai tanda aku tak paham apa yang terjadi di antara aku dan dia sekarang.
Lou menghela napas. "Aku masih di sana. Tidak pernah berubah, dan tidak pernah tidak memikirkanmu."
"Tidak hanya kamu yang sulit berdamai dengan banyak hal. Aku pun bersusah payah berdamai dengan diriku sendiri. Aku membenci diriku yang telah mengorbankan banyak orang demi menggapai mimpi, termasuk kamu. Sampai akhirnya, aku bisa memaafkan diriku."
"Berpisah dengan oang-orang terbaik di hidupku dan tinggal di luar negeri itu sulit, Sa. Aku melakukan semuanya sendiri. Aku harus beradaptasi dengan lingkungan baru, kebiasaan baru, dan budaya baru. Kerja kerasku pun terbayar. Aku keluar sebagai pemenang."
Aku tersenyum tipis. "Lalu, untuk apa kamu kembali ke sini?"
Lou menatapku. "Untuk mengejar mimpiku yang lain. Untuk kembali menjadi pemenang. Mendapatkan kamu, dan kembali hidup bersama kamu."

No comments:

Post a Comment