Friday, October 16, 2020

Sadino's Monologue #15


Aku benci dengan orang yang buta cinta, El.
Tapi, aku tidak bisa menyalahkan mereka. 


Beberapa hari lalu, seorang temansebut saja Guiraudbercerita tentang kehidupan cintanya yang rumit, El. Dengan antusias, aku mendengarkan kisahnya yang pilu itu. 

Yang dialami oleh Guiraud cukup pelik, El. Bukan karena perempuan yang dia cintai, tapi keputusannya untuk melebur dengan tanah yang dia pijak. Dia memilih untuk bersatu dengan humus yang mengandung unsur hara; membentuk sebuah jaringan kehidupan yang baru, tapi tidak tahu mau diapakan. 

Guiraud terjebak di dalam zona nyamannya. Logikanya mati, karena perasaannya dipaksa untuk bekerja keras setiap hari. Guiraud mempertahankan apa yang dia miliki, menjadikan hal itu sebagai tanggung jawabnya, tapi membunuhnya secara perlahan. 

Kadang, manusia tidak sadar bahwa cinta itu memiliki kemampuan untuk membutakan dan mengambil alih kendali yang selama kita pegang teguh, El. Cinta itu memperkaya sebuah rasa, kehidupan, tapi kadang menjemukan, dan menghancurkan. 

Permasalahan terbesar Guiraud adalah, dia tidak bisa membaca dirinya sendiri. Dia tidak tahu apa yang dia butuhkan, dan dia haus akan cinta. Itu bodoh, El. Dahaga yang dia rasakan itu tidak akan pernah bisa sembuh jika Guiraud tidak mau mencari penawarnya. Ya, Guiraud memilih untuk berhenti minum untuk melukai kerongkongannya. 

Fenomena ini normal, dan kamu pasti sering melihatnya, El. Demi kebahagiaan, manusia kadang berkorban terlalu jauh dan terlalu besar tanpa memedulikan diri mereka sendiri. Menurutku, seharusnya logika dan perasaan itu harus dilahirkan dalam keadaan yang imbang, bukan main hakim sendiri. 

Jika hal itu terus terjadi, manusia akan tunduk pada ego. Manusia akan mengalah pada hal-hal yang bersifat fana. Di saat yang sama, realitas memberikan tuntutan yang tidak mengenal waktu dan keadaan. Akibatnya, sebuah ledakan kejiwaan terjadi, membunuh insting yang mengubah pola pikir seseorang menjadi tidak waras. 

Aku menyalahkan Guiraud yang merendahkan dirinya hingga di bawah nol, El. Dia berhak untuk bernapas, dia berhak untuk bergerak bebas. Itu hak yang dia dapat sejak tangisannya menggema di ruang operasi, beberapa detik setelah ibundanya berjuang melawan kematian. 

Ini kompleks, El. Tapi, jika logika berada di posisi yang setara dengan perasaan, aku yakin Guiraud mampu memutuskan hal yang baik untuk hidupnya. Aku hanya menyayangkan Guiraud yang pintar tunduk pada perempuan yang lebih mementingkan egonya untuk bahagia. Itu tidak adil, El. 

Terserah saja, El. Manusia bebas untuk berpendapat, dan ini pendapatku. Pandangan setiap orang tentu berbeda, dan aku tidak mempermasalahkan itu, sebenarnya. 

Mungkin, aku hanya peduli pada seseorang yang memedulikan orang lain, El.
Mungkin saja.

No comments:

Post a Comment