Friday, November 4, 2016

Padma.

Padma,
Sosok yang intelektual,
Pemerhati,
Namun manipulatif.

Ia kerap menghujat mereka yang mengatasnamakan agama.
Ia tak percaya pada dilema,
Menyindir wanita-wanita yang taat pada aturan,
Dan menjebak orang-orang terdekatnya dengan mimpinya.

Padma terlalu pintar.
Ia bungkam mereka yang terus bicara,
Hanya dengan satu kata,
Yang tak pernah diharapkan keluar dari mulut seorang manusia.

Padma dan aku sama.
Bengis,
Licik,
Dan terlalu mencintai diri kami sendiri.

Hingga suatu saat,
Jantungnya membiru,
Membuatnya sulit untuk bernapas,
Dan dipenjara oleh waktu.

Ia hitung detak jantungnya,
Kala ia menantang dunia.
Matanya menolak untuk melihat warna,
Jemarinya kebas dan bibirnya kaku.

Ia terus meminta kehidupan,
Pada dunia yang ia tundukkan.
Berdoa,
Tapi bukan kepada Tuhan.

Hidupnya seperti biola tak berdawai.
Ia tutup kedua matanya dengan sempurna,
Dan ia genggam rasa takutnya dengan erat,
Dan mati tanpa pesan.

Saturday, October 29, 2016

Beatrix.

Ia bebani hidupnya dengan hati yang beku.
Ia tidak akan melihat ke belakang.
Ini adalah jalan yang ia pilih,
Ini adalah hidupnya.

Pikirannya berkecamuk.
 "Apakah aku benar?",
"Berapa banyak kepala yang harus kutebas demi kehidupan?",
"Berapa banyak darah yang telah kubiarkan mengalir sia-sia?"

Ia hanya menjaga orang-orang yang ia cintai.
Demi mereka,
Ia jahit hatinya,
Hingga kebal terhadap rasa.

Beatrix kerap memenangi peperangan.
Antara dirinya, maupun dunia.
Dengan pedang dalam genggamannya,
Ia bersumpah untuk hidup demi melihat takdirnya.

 Walau ia tidak memiliki tempat untuk mengadu,
 Ia cukup bijak untuk menilai apa yang telah ia lakukan.
Ia dididik untuk tidak kenal takut,
Ia dididik untuk menjadi sosok yang acuh tak acuh pada lingkungannya.

Ia menutup mata dan bertanya pada hatinya,
"Siapa kamu?",
Namun tak ada yang menjawab.
Dan Beatrix sendiri tidak bisa menjawabnya.

Sunday, September 4, 2016

Nalendra.

Nalendra menatap keluar jendela.
Tangannya menyentuh dada kirinya,
Napasnya tak beraturan,
Dan air matanya tak berhenti mengalir.

Ia merasa dikhinati,
Oleh negerinya,
Oleh sahabat-sahabatnya,
Oleh ayahnya sendiri.

Ia tahu ayahnya begitu menyayanginya,
Ia lihat dengan mata kepalanya sendiri,
Ayahnya membiarkannya pergi dengan senyuman.
Tapi, ia tidak mengharapkan akhir ceritanya akan seperti ini.

Nalendra benci akan kehilangan.
Ia tidak bisa terima hal itu.
Ia mengutuk kematian ayahnya,
Dan bersumpah pada dirinya sendiri untuk menggagalkan kematian orang-orang yang ia cintai.

Mata birunya mengatakan segalanya,
Bahwa kematian tidak saling menggugat,
Melainkan hidup dalam kenyamanan,
Yang membawanya pergi dari kenyataan yang ada di depan mata.

Demi ketakutannya,
Ia berdiri tegap.
 Ia tidak akan mundur,
Ia tidak akan tidur.

Nalendra akan membalas.
Nalendra siap untuk berperang dengan kematiannya.
Ia menantang malaikat maut yang menjemput nyawa ayahnya.
Ia begitu yakin bahwa ia mampu membuat sebuah perbedaan.

Saturday, September 3, 2016

Argentum.

Kedua matanya memandang api yang berkobar di atas bukit.
Dari kejauhan,
Ia diam seribu bahasa.
Peperangan telah dimulai.

Sakit hatinya mengalahkan rasa takutnya,
Membuatnya berdiri dengan angkuh tanpa penyesalan.
Ia menelan ludah,
Dan membidik senjata laras panjangnya.

Haru biru.
Semua orang merasakan penderitaan Argentum yang begitu hebat.
Ia menembak mati mereka yang tak ingin hidup,
Ia tersenyum, ia bahagia.

Matanya yang liar menatap langit merah di atasnya,
Ia bergumam pada dirinya sendiri,
Ia bicara pada nyalinya,
Ia bertaruh dengan rasa benci dalam dirinya.

Argentum melempar senjatanya ke udara.
Ia berlutut,
Memohon ampun pada dirinya sendiri,
Ia berhasil membiarkan amarah menguasai dirinya.

Ia bahagia.

Saturday, March 26, 2016

Danendra.

Pergi.
Pergi dari pikiranku.
Pergi dari alam bawah sadarku.
Pergi dari hidupku.

Aku lelah, Danendra.
Aku muak dengan rasa.
Kepalaku seperti terbakar,
Dan kau membantunya untuk berkobar.

Bukan Danendra namanya,
Jika ia belum menyerah.
Danendra terus membisikku kenangan pahit,
Sambil memainkan rambutku.

Danendra,
Aku bukan hewan.
Jangan curi bahagiaku.
Jangan halangi wajahku.

Danendra,
Biarkan aku berdamai dengan diriku
Biarkan angin Barat menerpa wajahku.
Biarkan aku melihat semesta dengan kedua mataku.

Lepas, Danendra.
Kita bukan siapa-siapa.
Kita hanyalah boneka bernyawa,
 Yang memiliki batas kesabaran.

Friday, March 11, 2016

Sudrata.

Tidak pernah kutemukan pria sekejam Sudrata.
Pria tak berwatak,
Tak beridentitas,
Dan haus darah.

Ia gali liang lahat ayah kandungnya dan menghancurkan tulang belulangnya.
Ia paksa ibu kandungnya untuk tunduk pada perintahnya.
Ia potong lidah adik-adiknya agar mereka tak lagi bicara.
Ia gagahi puluhan wanita untuk memuaskan hasratnya.

Sudrata kerap melakukan pembunuhan.
Menggunakan belati yang berbeda-beda pada setiap korbannya,
Ia mengoyak tubuh mereka bagai harimau yang kelaparan,
Dan menimbun mayat mereka di bawah pohon favoritnya.

Ia bilang,
Ia melakukan hal itu dengan mengatasnamakan cinta.
Dan ia memintaku,
Untuk tidak menyalahartikan sikapnya tersebut.
  
Sudrata meremehkan masa depannya.
Ia menolak untuk mempercayai takdirnya.
Ia sadar,
Bahwa ia adalah sebuah senjata pemusnah massal.

Sudrata tersenyum simpul.
Ia menolak untuk menatap wajahku,
Dan berjalan pergi meninggalkanku,
Tanpa memedulikan rasa takutku.

Sudrata tahu.
 Ia sengaja meninggalkanku yang tengah beradu kuat dengan perasaanku.
Karena suatu hari nanti,
Aku yang akan menggantikan nyawa dan kepemimpinannya.

Thursday, March 10, 2016

Garjita.

Ia sadar,
Cintanya telah mengharubirukan hidup seseorang.
Ia melihat sendiri,
  Belasan jiwa tak berdosa berusaha mengusap air matanya.

Ia dilahirkan dengan rasa bangga yang tak kasatmata.
Tanpa keraguan,
Ia tumbuh dengan seribu talenta,
Dan berhasil mengangkangi sebuah harta berupa keangkuhan.

Garjita memikat ratusan mata yang memandangnya.
Ia menunjuk kesalahan mereka yang mengabdi padanya.
Membunuh mereka secara perlahan dengan tingkah lakunya,
Dan membiarkan mereka terbaring tak bernyawa di atas tanah yang beku.

Ia tidak pernah melihat masa lalunya.
Ia juga tidak pernah melihat ke belakang.
Ia yakin tak akan ada orang yang bisa menghentikan langkahnya,
Dan ia adalah seseorang yang tidak akan pernah bisa kuraih.

Jagratara.

Aku memimpikan seorang lelaki,
Yang tangguh,
Pemberani,
Dan disegani.
 
Aku memimpikan Jagratara.
Pria yang konservatif,
Jujur,
Dan keras mulut.

Jagratara gemar bermain di bawah alam sadarnya.
Jagratara menyukai ke kesunyian.
Jagratara berpikir dua kali lebih cepat dari manusia biasa.
Dan semesta adalah cinta pertamanya.

Jagratara bilang,
Ia adalah seekor serigala liar.
Jagratara bilang,
Jiwanya kerap berpindah tubuh.

Jagratara adalah rasa takut di dalam diriku.
Kerlingan matanya mampu membuatku hatiku hancur berkeping-keping.
Nyanyian pilunya mampu membuatku lupa akan agamaku.
Namun entah kenapa, aku tetap mencintai orang seperti dia.

Jaladhi.

Baginya,
Aku hanyalah angin beralih.
Ia menganggap aku adalah perempuan yang tidak berpendirian,
Dan aku tidak menyalahkannya.
 
Bagiku,
Ia bagai laut tak berdasar.
Ia menyimpan banyak rahasia,
Yang ia pendam di dalam dada.
 
 Kami adalah senyawa.
Kami dilebur menjadi satu sejak kami lahir.
Kami duduk di singgasana yang sama,
Meski bentuk cinta kami pada dunia jauh berbeda.
 
Dengan mata terpejam, Jaladhi berjalan mundur.
Ia berhasil menundukkan rasa takutnya.
Tanpa suara,
Ia tersenyum bagai kesatria yang memenangkan perang.

Sedangkan aku,
Berdiri angkuh dengan tatapan kosong,
Tertawa dalam hati,
Dan membiarkan pikiranku berselisih dengan perasaanku.

Jaladhi menarikku menjauh dari tempatku berdiri.
Dengan muka masam,
Dan tubuh gemetar,
Ia meminta harga diriku untuk ia kuasai.

Dengan senyum raja,
Jaladhi menunduk dan memberi hormat.
Ia tahu apa yang ia inginkan.
Ia tahu, bahwa aku hanyalah boneka kayu yang ia gurat dari tangannya sendiri.

Wednesday, March 9, 2016

Samasta.

Samasta bilang,
Aku harus membelah diri menjadi dua.
Untuknya,
Dan untuk mereka yang membutuhkanku.

Samasta bilang,
Aku tidak boleh pergi terlalu jauh darinya.
Alasannya,
Karena Samasta bisa mati kalau aku tidak ada di dekatnya.

Samasta bilang,
Aku harus menggunakan mata batinku,
Untuk melihat isi kepalanya.
Dan kutatap matanya dalam-dalam.

Kilauan kedua matanya mengecilkan hatiku.
Tatapannya bagai anak kecil yang ditinggal mati orang tuanya.
Wajahnya penuh harap,
Memintaku untuk bersatu dengan harapannya.

Tiba-tiba,
Ia menggenggam erat kedua tanganku. 
Samasta merintih,
Dan menangis pilu.

"Salahkah, aku?", tanyanya.
 Aku bergeming menatapnya.
Ia menjerit,
Seakan benda tajam sedang menyayat sekujur tubuhnya.

"Jangan pergi", pintanya.
 Wajahnya memohon,
Dan bibir bergetar seakan sedang berdoa tanpa suara.
Cintanya kepadaku, terlampau dalam.

Aku tidak tega,
Melihat lelaki seperti Samasta,
Meminta pengampunan dosa,
Dan dilumpuhkan oleh rasa.

Samasta memujaku seperti memuja berhala.
Ia membuang waktunya untuk aku yang sedang dalam keraguan.
Samasta kembali merintih,
Ia terlalu rapuh untuk menerima kenyataan yang ada.

Aku tidak bisa menjawab pertanyaannya.
 Tidak, aku tidak akan menjawabnya.
 Karena jika Tuhan menarik jiwaku lebih cepat,
Maka aku mengingkari janjiku.

Sayaka.

Mulutnya adalah busur panah,
Dan tiap kata yang keluar dari mulutnya adalah anak panah.
Sebuah kombinasi sempurna,
Sesuai namanya.
Tiap kata yang ia ucap menyerang dengan gila,
Hingga aku tak bisa menghindar.
Tidak, aku tidak akan menghindar,
Karena aku adalah korban atas bahagiannya.
Dengan mata terbuka lebar menantang dunia,
 Sayaka membidik jantungku.
Dengan tenang, ia bicara dengan lantang.
Dan ucapannya berhasil menembus jantungku.
 Ia memandangku yang tak berdaya tanpa suara.
Mata liarnya tak berkedip,
Tanpa belas kasihan, ia menarikku lenganku,
Dan memaksaku berdiri.
Kami bertatapan.
Lagi-lagi, ia menanarkan aku yang memandangnya penuh dosa.
 Senyum buayanya membuatku mendesah pelan.
Dalam tiga detik, ia berhasil membuat duniaku hancur.
 Jemarinya menyentuh tanganku,
Dan bibirnya menyentuh punggung tanganku tanpa suara.
Secara tiba-tiba, ia tersenyum simpul menatapku,
Dan membelai rambut hitamku dengan penuh kasih.
Semudah itukah ia hidup?
Betapa sabar dan baiknya aku ini.
Kenapa aku tidak pergi saja dari sini?
Percuma, karena laki-laki seperti Sayaka akan terus menertawakan dunia.

Tranggana.

Di depan pintu yang tertutup rapat, ia berdiri.
Sorot matanya yang kosong membelah langit,
Memorak-poranda rasa di dalam dada orang-orang yang melihatnya,
 Dan meluluhlantakkan isi kepala mereka.

Ia berjalan dengan anggun,
Menarik paksa seluruh mata di sekitarnya untuk menatapnya.
Dan ia berhenti,
Tepat di depanku.

Ia memandang kedua mataku tajam.
Bibirnya yang tipis tak bergerak.
Matanya bagai ular yang sedang lapar,
Dan rahangnya secara tiba-tiba terlihat mengeras.

Tranggana berjalan mendekat,
Menyisakan jarak sekitar satu jengkal di antara kami.
Ia berbisik di telinga kananku,
Dan memintaku untuk bernapas bersama.

Aku memilih mundur.
Mulutnya menganga.
Matanya mendelik,
Matanya bertanya.

Air mata bergerak turun ke pipinya.
Ia menelan ludah,
Berbalik,
Dan berjalan menjauh dariku tanpa suara.

Untuk pertama kali dalam hidupnya,
Tranggana takut akan kehilangan.
Untuk pertama kalinya,
Ia ditolak oleh cinta yang telah ia pendam selama bertahun-tahun.

 Tranggana membuka pintu tanpa menoleh kepadaku.
Ia masuk ke ruangan di balik pintu tersebut,
Dan menutup pintu tersebut dengan lembut,
Tanpa bicara sepatah kata pun.

Mampukah, Tranggana?
Apakah ia mampu hidup sendiri?
Apakah Tranggana akan bunuh diri?
Entah, karena hidupnya tak lagi menjadi urusanku.

Friday, February 19, 2016

Memory of a Lightwave.

Aku hidup,
Untuk pertama kalinya dalam satu tahun delapan bulan ini.
Aku bernafas,
Namun, kedua mataku berdarah.

Aku tidak bernyanyi untukmu.
Aku bernyanyi untuk diriku.
Aku sedang memanjakan diriku.
Aku sedang melukai isi pikiranku.

Aku tidak peduli.
Aku tidak percaya dengan janji.
Aku tidak percaya dengan rasa.
Aku hanya percaya pada logika.

Dalam waktu satu detik,
Duniaku hancur,
Hatiku terbakar,
Dan air mata tak berhenti bergerak di mataku.

Aku berjuang,
Aku berkorban,
Aku membagi separuh jiwaku,
Untuk kamu.

Aku luangkan waktu,
Aku berlari di sisimu,
Aku mengkhianati prinsipku,
Untuk orang seperti kamu.

Mungkin,
Aku berhak disakiti.
Aku berhak disudahi.
Dan mungkin, aku tidak berhak mencintai orang seperti kamu.

Untuk apa ada hujan,
Kalau kamu tidak mau berjalan melewatinya?
Untuk apa ada nyanyian,
Kalau tidak ada pesan di dalamnya?

Untuk apa,
Aku mencintai seseorang,
Kalau pada akhirnya,
Dia lebih memilih untuk hidup sendiri?