Sunday, September 4, 2016

Nalendra.

Nalendra menatap keluar jendela.
Tangannya menyentuh dada kirinya,
Napasnya tak beraturan,
Dan air matanya tak berhenti mengalir.

Ia merasa dikhinati,
Oleh negerinya,
Oleh sahabat-sahabatnya,
Oleh ayahnya sendiri.

Ia tahu ayahnya begitu menyayanginya,
Ia lihat dengan mata kepalanya sendiri,
Ayahnya membiarkannya pergi dengan senyuman.
Tapi, ia tidak mengharapkan akhir ceritanya akan seperti ini.

Nalendra benci akan kehilangan.
Ia tidak bisa terima hal itu.
Ia mengutuk kematian ayahnya,
Dan bersumpah pada dirinya sendiri untuk menggagalkan kematian orang-orang yang ia cintai.

Mata birunya mengatakan segalanya,
Bahwa kematian tidak saling menggugat,
Melainkan hidup dalam kenyamanan,
Yang membawanya pergi dari kenyataan yang ada di depan mata.

Demi ketakutannya,
Ia berdiri tegap.
 Ia tidak akan mundur,
Ia tidak akan tidur.

Nalendra akan membalas.
Nalendra siap untuk berperang dengan kematiannya.
Ia menantang malaikat maut yang menjemput nyawa ayahnya.
Ia begitu yakin bahwa ia mampu membuat sebuah perbedaan.

Saturday, September 3, 2016

Argentum.

Kedua matanya memandang api yang berkobar di atas bukit.
Dari kejauhan,
Ia diam seribu bahasa.
Peperangan telah dimulai.

Sakit hatinya mengalahkan rasa takutnya,
Membuatnya berdiri dengan angkuh tanpa penyesalan.
Ia menelan ludah,
Dan membidik senjata laras panjangnya.

Haru biru.
Semua orang merasakan penderitaan Argentum yang begitu hebat.
Ia menembak mati mereka yang tak ingin hidup,
Ia tersenyum, ia bahagia.

Matanya yang liar menatap langit merah di atasnya,
Ia bergumam pada dirinya sendiri,
Ia bicara pada nyalinya,
Ia bertaruh dengan rasa benci dalam dirinya.

Argentum melempar senjatanya ke udara.
Ia berlutut,
Memohon ampun pada dirinya sendiri,
Ia berhasil membiarkan amarah menguasai dirinya.

Ia bahagia.