Wednesday, October 21, 2020

Sadino's Monologue #21



"Aku mengejarmu selama bertahun-tahun untuk menghancurkanmu, Sadino." 


Cerita ini adalah sebuah ironi. Tak bisa ditolak, tapi tak bisa aku terima. Mungkin, cerita ini adalah sebuah janji dalam mimpi. Mungkin dia hidup dalam oase di dalam pikiranku. Mungkin juga, dia telah lama mati berdiri di dalam sana. 

***

"Anjing," kedua mata London terbelalak. "Aku salah kirim email." 

Aku bisa melihat London menggigit rokoknya cukup keras. Asap putih dari rokok yang terbakar nyaris menghalangi pandanganku pada wajahnya yang panik. 

"Aku mengirimnya ke atasanku. Seharusnya aku mengirimnya ke Rifky. Goblok," London mengambil rokok dari mulutnya dan meletakkannya di asbak. 

"Memangnya, apa isinya?" tanyaku. 

London menggigit bibir bawahnya. "Laporanku yang belum selesai. Aku minta Rifky untuk menyelesaikannya, lengkap dengan pesan 'Selesein nih, pusing gua, bangsat'." 

Jarum jam dindingku menunjukkan pukul 01.12 pagi. London menggaruk-garuk kepalanya dan mendengus keras. "Aku harus tidur." 

Kalimat barusan lumayan mengejutkanku. London tidak pernah tidur sebelum dini hari. Manajemen waktunya untuk beristirahat cukup bermasalah, tapi dia nyaman dengan hal itu. 

"Kenapa kamu tidak pernah melarangku untuk tidak tidur pagi, Sadino?" tanya London sambil meregangkan tubuhnya. 


Kamu pikir, aku punya hak untuk melakukannya? 


"Seingatku, aku selalu memintamu untuk tidur cepat," jawabku. "Dan jawabanmu selalu 'Nanti, mau baca komik dulu' atau 'Habis ini, ya? Aku mau main game dulu'." 

London kembali mendengus. "Kenapa kamu tidak marah?" 


Dan percakapan ini mendadak menjadi menyebalkan. 


"Kenapa aku harus membuang tenaga untuk marah?" kataku. 

"Itu bentuk perhatianmu. Sadino yang galak adalah Sadino yang perhatian," kata London. 

"Sejak kapan tolak ukur itu tercipta?" ucapku seraya menyeringai. 

"Sejak pertama kali aku bertemu denganmu," jawab London. "Mungkin ingatanmu sedang buruk." 

Tidak, aku ingat semuanya. 


"Ya, gih, tidur sana," kedua mataku kembali tertuju pada laptop. Aku sedang menonton serial Gintama.

London membakar sebatang rokok dan mengembuskannya dengan cepat agar dia bisa membalas omonganku. "Menurutmu, aku lelah, tidak?" 

"Sangat lelah," jawabku dengan kedua mata masih menatap layar laptop, memuja-muja Gintoki dan Hijikata dalam hati. "Kamu hanya tidur tiga sampai empat jam setiap hari, dan kamu bekerja sampai larut malam. Kamu memaksa otakmu untuk bekerja melebihi jam kerjanya." 

London memandangku sambil melepaskan kacamatanya. "Ya, kita sama." 


Aku menarik napas panjang, sadar bahwa mulutku telah salah berucap. 


"Sebenarnya, aku bisa mengerjakan laporan ini nanti siang di kantor," kata London sambil memainkan rokok di tangan kanannya. "Hanya saja, aku ingin merasakan seperti apa menjadi seorang Sadino yang selalu membuang waktunya untuk hal-hal yang menurutnya penting."
 
"Hiburan itu penting. Aku sedang memanjakan diriku sekarang," jawabku ketus. 

"Ah, kamu juga masih suka bekerja sampai dini hari," ucapan London seakan tak mau kalah ketus. 

"Mungkin, bekerja sudah menjadi hiburan buatku," balasku. "Jangan pedulikan sikapku barusan. Aku sedang menjadi orang yang keras kepala." 

London tidak menjawab. Tapi kedua matanya terus menatapku. 

"Mungkin ini juga bentuk relaksasiku," ujarnya. 

Aku memandangnya tanpa suara seraya menanti kalimat apa yang akan keluar dari mulutnya. 

"Memandangimu adalah bentuk relaksasiku. Kamu yang sedang duduk di sana, di depan laptop, tertawa sendiri, dan memuja betapa kerennya Sakata Gintoki dan Hijikata Toshirou," kata London. 

London mengisap rokoknya dan mengembuskan asapnya dengan perlahan. "Tentu saja, sambil mempertanyakan kenapa aku begitu merindukan kamu padahal kita sedang bicara sekarang." 


Kumat. 


"Iya, teruskan saja," jawabku pendek. Mataku masih menatap layar laptop. 


"Oi, Sadino." 


Aku menekan tombol space pada laptop dan menatap London. London mengubah posisi duduknya; dia duduk bersila di atas sofa. Kedua pahanya menopang kedua tangannya. 


"Akan serindu apa aku padamu ketika kita sudah dipisahkan jarak dan waktu?" 


Aku tidak menjawab. Pertanyaannya benar-benar merusak suasana hatiku. 

"Saat aku sudah berada di sana, ketika aku pulang ke apartemenku, membuka pintu, dan tidak menemukanmu sedang duduk di sofa sambil tertawa karena kebodohan Gintoki dan Hijikata, seperti apa rasanya?"

Aku masih tidak menjawab. Kedua mataku masih menatapnya. 

"Dan saat aku melihat jam tanganku yang menunjukkan pukul 19.00 malam, lalu mengingat Jakarta sudah jam 02.00 malam, apakah kamu masih terjaga sambil mengingat-ingat wajahku?" 

"Mungkin," akhirnya aku menjawab dengan memberikan jawaban aman. "Mungkin, aku sedang menonton Gintama."

"Dan merindukan London sambil mencuri-curi pandang ke arah sofa yang kududuki sekarang," London mematikan rokoknya ke asbak. "Aku tidur duluan, ya." 

Kedua alisku terangkat. "Silakan."

London berdiri dan meregangkan tubuhnya. Sambil menggaruk bagian kepalanya, dia melewatiku dengan gontai. 

"Kamu beruntung," ucapnya seraya meraih gelas di meja kecil di samping laptopku. "Ada kehadiranku dalam bentuk ingatan di rumah ini. Di saat kamu rindu, kamu tinggal menoleh ke kiri." 

London menenggak habis air di dalam gelas. Dia kembali meletakkan gelas kosongnya di atas meja. "Sedangkan aku harus kembali berhadapan dengan kenangan yang selalu menghantuiku selama belasan tahun." 

"Apakah itu perlu?" tanyaku. 

"Ingatan itu datang dengan sendirinya, tanpa diminta. Aku kagum dengan inisiatif sebuah ingatan yang selalu datang tanpa permisi," jawabnya. 

London menguap dan menepuk-nepuk kepalaku. "Ironis. Padahal, aku yang selalu mencarimu." 

London menaiki tangga dan menghilang dari pandanganku. Aku kembali menekan tombol space dan kembali menonton Gintama. 

Tak sampai lima menit, ponsel pintarku bergetar. Aku menerima pesan dari London. 


"Sadino, kangen." 

No comments:

Post a Comment