Thursday, October 24, 2019

Nukha.

Nukha tidak akan pernah tahu perasaanku.
Kadang, aku ingin dia tahu.
Kadang, aku ingin dia tak tahu.
Bahkan, kadang aku ingin dia tak perlu tahu.

Nukha selalu bilang, kalau dia sulit merasa percaya diri saat berada di dekatku.
Aku benci itu, dan Nukha tahu itu.
Dia selalu berkutat akan bagaimana caranya untuk menyamakan kedudukan,
persepsi, pola pikir, dan rasa.

Nukha paham aksara,
tapi menolak memahami kuatnya sebuah gerakan.
Nukha kerap menolak untuk dipelajari,
dan memilih untuk memikirkan sesuatu yang sukar terjadi.

Aku berdiri di sana,
seorang diri,
menatap Nukha dari jauh,
yang acuh tak acuh.

Aku benci itu.
Aku benci merasa canggung.
Dia begitu dekat,
tapi rasanya, seperti memandangnya dari atas mercusuar.

Aku butuh menyentuh Nukha setiap waktu.
Mendengar detak jantungnya sampai tertidur pulas,
menyibak rambutnya seakan tak ada hari esok.
Aku butuh merasakan manusia di dalam pelukanku.

Seluruh bagian tubuh Nukha adalah milikku.
Berani sekali aku, mengklaimnya seperti itu?
Darahnya mengalir untuk menghidupkan nadiku.
Kedua matanya bergerak untuk mencariku.

Berlebihan?
Rasa ini datang dari hulu karsaku.
Aku berlaku sesuai keinginanku,
dan aku bangga dengan itu.

Nukha tak akan pernah tahu,
seperti apa rasanya menjadi sensitif.
Nukha tak akan pernah tahu,
seperti apa rasanya memanusiakan rasa.

Jarak pendek terasa jauh.
Waktu terus berputar, tak peduli apa yang sedang terjadi.
Hitung mundur dimulai,
melewatkan momen dan ratusan pertanyaan.

Nukha, apakah kamu mengigau?
Aku mampu melihatmu walau mataku terpejam.
Aku mampu mendengarmu walau kau tidak bicara.
Nukha, apa yang kamu telan itu?

Aku menolak luruh.
Jangan takut dan pergi menjauh.
Robek hatimu dan berikan padaku,
Agar aku tahu kamu masih menyimpan rasa saat pertama kali bertemu denganku.

Tuesday, October 22, 2019

Nakai.

Hingga detik ini,
aku belum paham apa yang dipikirkan Nakai.
Caranya memandang dunia, menghakimi masa,
tak ada yang tahu selain Tuhan dan dirinya.

Sulit untuk mengerti dan menjinakkan tubuhnya.
Nakai bukan lelaki sembarangan.
Dunia menghakimi dirinya sejak usianya belum cukup tangguh untuk berperang,
membuatnya yakin akan persepsi yang manipulatif dan berbahaya.

Sulit untuk memahami seorang Nakai.
Nakai yang keras kepala,
Nakai yang merasa dirinya tak punya ruang untuk bicara,
Nakai yang rapuh, dan tak percaya diri.

Hidup mengajarkannya untuk berdiri dengan dua kaki.
Tanpa mengharapkan bantuan, tanpa belas kasihan.
Di saat orang-orang mengulurkan tangan untuk membantunya,
Nakai menolak mereka, dan berkata, "Aku bisa."

Nakai menutup dirinya dari peradaban.
Berlaku sesuka hati, dan hanya mencintai ibunya seorang.
Nakai yakin suatu saat, dia akan membuat orang-orang bangga,
dengan berpaling dari mereka yang selalu berselisih demi masa depan.

Nakai bertemu denganku suatu malam,
di ruang kosong dengan ratusan jendela.
Nakai menolak untuk bicara,
memilih diam dengan menyimak kedua mataku.

Jutaan detik aku habiskan untuk menyamakan pola pikirku dengan Nakai.
Tetap saja, aku tak bisa tembus.
Tembok yang dibangun Nakai begitu kokoh dan tinggi.
Aku harus berusaha lebih giat lagi.

Aku pinjamkan kedua telingaku padanya,
untuk menenangkannya saat dia meracau soal ketidakadilan dalam hidup.
Aku menggegamnya, memeluknya, melukai hatinya,
hingga Nakai sadar, bahwa dia sedang berhadapan dengan sosok yang nyata.

Aku adalah perempuan yang paling dia benci seumur hidupnya.
Aku mengubah jaringan sel saraf di dalam otaknya.
Mengendurkannya, mengarahkannya ke arah berlawanan.
Sadar tak sadar, Nakai berubah.

Nakai benci perubahan.
Nakai benci diatur.
Nakai benci diberi tahu.
Nakai mencintaiku, dan dia berusaha keras untuk itu.

Ratusan hari aku berjuang untuk membangunkan jiwanya yang usang.
Ribuan hari aku mengalah pada ego dan hatiku yang terbuat dari baja.
Dan satu menit aku berbuat salah,
Nakai memilih untuk menyerah dan membuang kerja kerasku.

Tubuhku menjerit,
tapi aku memilih untuk hancur bersama organ-organku.
Aku ingin terus menyentuh Nakai-ku.
Aku ingin melihat Nakai-ku bahagia.

Sampai kapan aku harus terluka,
demi lelaki yang gemar mengunci ingatan seperti dia?
Jawabannya, mudah.
Aku berkenan untuk menjawab.

Sampai Nakai mengalah pada kemandirian.
Sampai Nakai buta bahagia.
Sampai Nakai menghancurkan jemariku karena rasa memiliki.
Sampai Nakai rela mengubur keangkuhannya di ujung dunia.

Sampai Nakai berpaling dari langit berpendar,
hanya untuk menatap wajahku.

Sunday, May 19, 2019

Nagendra.

Putraku Nagendra,
aku benci melihatmu merenung,
berkawan dengan keheningan,
dan meraung dalam diam.

Nagendra,
rasakan cinta ibumu.
Dari dalam darah,
ke paru-paru.

Jatuhkan tongkatmu,
berdiri dengan kedua kakimu.
Tatap singgasanamu,
berbaliklah, dan bunuh para benalu.

Hatiku bagai api dilalap api.
Remuk redam,
basah dan berdarah,
melihatmu penuh luka dan tak berdaya.

Apakah aku menimang bayi,
atau sebuah kesalahan?
Nagendra akan mati tanpa perlu aku doakan.
Nagendra akan hidup selamanya di nirwana.

Kuatkan hati ibumu, Nagendra.
Dia bersumpah untuk tunduk pada cintanya akan neraka.
Robek wajah ibumu, Nagendra.
Dia menolak untuk memeluk jasadmu saat kau terbujur kaku.

Thursday, February 7, 2019

Pulang.

Saat kebencian mengalahkan doa,
saat hitam perlahan menghapus putih,
kamu berdiri di sana,
dan melebur denganku.

Aku,
yang tengah terpaku membeku,
merintih, mencoba melagu,
kelu, tapi ingin ditunggu.

Kamu membawaku pergi jauh dari sana.
Aku yang sedang berlinang air mata,
merebutku dari mimpi yang sedang merona,
mencegahku membusuk dengan asa sekuat baja.

Dalam dekapmu aku bicara,
bahwa rasa muncul tanpa rencana,
tanpa peringatan,
tanpa campur tangan aksara.

Aku pernah berjanji dengan diriku sendiri,
untuk selalu mencintai manusia,
meninggikan mereka, mengampuni mereka,
dan menjadi saksi bisu akan perjalanan hidup mereka.

Ikrarku adalah peluru yang bersarang di urat nadimu.
Genggam aku hingga mendarah daging.
Renggut aku dari ketakutanku.
Jaga aku baik-baik dalam doamu.

Kamu adalah perahu tanpa layar,
terombang-ambing saat senja berganti warna,
menerjang ombak, membunuh duka,
seraya  menunggu malam tiba tanpa aba-aba.

Ini bahagiaku,
harga mati dalam hidup yang semu.
Ini surgaku,
penghargaan terbesar dalam sejarah perjalananku menemukan rasa.

Kamu adalah badai tanpa derita.
Kamu adalah wadah berisi nyawa.
Kamu adalah hujan di tengah samudra.
Kamu adalah racun untuk mengobati luka.

Terima kasih, kamu membiarkan jiwa dan ragaku berburu.
Terima kasih, kamu mau melukis aku hingga lupa waktu.
Terima kasih, telah mendengarkan lantunan keluh kesahku.
Terima kasih, telah berbagi ruang kosong denganku.

Terima kasih sudah memperlihatkan rasa takutmu.
Tetap di sana, samakan ritme napasmu denganku.
Terima kasih, atas tempat tinggal yang nyaman,
hingga membuatku selalu ingin pulang.

Entitas.

Manusia,
lahir dari rasa,
dengan atau tanpa cinta,
berbentuk, berwatak, dan bermasa depan.

Kau melihat karena punya karsa.
Dituntut, dipaksa, tanpa perlindungan.
Dari pagi, hingga mataharimu raib dari sudut mata,
tanpa perlawanan, tanpa paksaan.

Kau dipaksa untuk merengkuh ketakutanmu.
Rasa yang kau kubur hidup-hidup,
rasa sakit yang tak bisa dirasakan manusia lain,
yang mana orang tuamu tak pernah ajarkan selama kau hidup.

Kau diserang, lebih cepat dari cahaya.
Kau terbakar, dalam api unggun tak bertuan.
Berharap rasa menghilang,
berharap mendapat pertolongan.

"Sembuhkan aku," pintamu pada bayanganmu.
Tidak ada yang bisa menyelamatkanmu kecuali nalarmu.
Bangkit dan pergi dari sana sekarang.
Pergi jauh dari sana, cuci lukamu.

Kau berlari, menggenggam erat resahmu sebagai sebuah makhluk.
Sampai kau tiba di kaki langit,
bertanya-tanya hingga pucat dan membiru,
lalu menyadari, bahwa kau hidup dan tak kehilangan akal sehatmu.

Berhentilah.
Berhenti mematahkan tulang-tulangmu untuk belajar mencintai rasa.
Berhenti menghirup abu untuk melarutkan mimpi burukmu.
Kau adalah selebrasi untuk wujud sempurnamu.

Manusia,
sebagai entitas,
disegani, dipuja, dan disakiti,
hidup mandiri dari sakit hati.

Manusia,
bergeming, berpeluh, berduka,
bernapas dan berdarah,
untuk manusia, dari manusia.

Saturday, January 19, 2019

Kasatka.

Kasatka adalah ibu tak beranak.
Dia adalah seorang betina yang kuat,
seorang penyintas bertubuh besi,
dan seorang tawanan yang tak dihargai.

Mereka mengurungnya dalam sebuah ruangan penuh air.
Dia kerap berpeluh karena sulit untuk bernapas.
Dia kerap menyiksa dirinya untuk mendapat pertolongan.
Tapi, Kasatka tak pernah menyesalinya.

Satu kesalahan terbesar Kasatka,
dia tak pernah melawan.
Dia memilih untuk berkubang dengan ketakutan dan kebenciannya.
Kasatka melakukannya agar dia tetap hidup.

Kasatka tak bisa lari.
Dia tak punya tempat untuk pergi.
Kasatka terlalu lama berada di dalam air,
Kasatka terlalu lama berdiri sendiri.

Kasatka sadar dia diracun untuk tetap hidup.
Tapi, dia tetap berusaha agar pembuluh darahnya mengering.
Dia membiarkan isi kepalanya saling menabrak,
membuat luka yang tak akan bisa disembuhkan oleh doa.

Kasatka punya harapan.
Kasatka berharap agar dia memenangkan pertandingan itu.
Sebuah pergulatan batin yang tak akan pernah berakhir,
layaknya irama kematian yang datang tanpa diundang.

Sampai akhirnya, tubuhnya membiru dengan sendirinya.
Matanya tak lagi mampu untuk melihat.
Kedua tangan dan kakinya hancur karena selalu digunakan.
Mulutnya berdarah karena tak pernah bicara.

Kasatka adalah seorang juara.
Dia mati dengan cara yang dia inginkan.
Dia mati tanpa perlu dikenang.
Dia hidup untuk menghormati kesengsaraan jenisnya.

Kasatka adalah makhluk tak bertuan,
Tak menyembah, tapi disembah,
Tanpa dipaksa, tanpa paksaan.
Kasatka adalah cinta yang tak perlu direngkuh.