Saturday, September 15, 2018

Mahesa.

Untuk manusia,
Yang hatinya murni untuk mencinta,
Yang aku hancurkan tanpa aba-aba,
Maafkan aku.

Tidak, aku tidak ingin bicara.
Mendengar suaramu sama saja dengan membuka luka lama.
Aku telah menjahitnya dengan rapi,
Aku telah menutupnya dengan rapat.

Aku tidak menyalahkan keadaan.
Aku juga tidak menyalahkan kamu.
Aku tidak mau menyalahkan siapa-siapa.
Ingat janjimu.

Kamu pernah bilang,
Jantungmu berdetak untukku.
Tuhan berpihak padamu ketika kamu kembali bertemu denganku.
Aku yang sedang hilang arah, aku yang tak paham dengan apa yang kamu inginkan.

Kamu di sana di saat aku butuh bantuan.
Kamu berdiri di hadapanku,
Ketika aku menolak untuk menyentuh ketakutanku.
Kamu duduk di sampingku saat langit memalingkan wajahnya dariku.

Kamu selalu menantikan satu kalimat dari mulutku.
Kalimat yang tak akan pernah kuucap,
Kalimat yang menghancurkan kita hingga tak bersisa.
Sampai akhirnya, kamu menyerah dan menerimanya dengan lapang dada.

Aku dan kamu,
Saling menatap di antara daun gugur.
Menahan perih, menahan rindu,
Saling menghancurkan dalam imajinasi, tanpa bicara.

Kamu tahu kita tersesat.
Aku, lebih tepatnya.
Kamu meraihku, menggenggam tanganku erat-erat,
Menolak untuk melepas, menolak untuk meninggalkan.

Usaha kerasmu itu,
Tidak aku hargai.
Keinginanmu untuk menjadi satu,
Aku mempermudahnya dengan sebuah perpisahan.

"Aku benci kalimatmu," ucapmu.
Percayalah, aku tidak membuangmu semudah itu.
Kamu manusia favoritku,
Kamu jawaban yang aku cari selama ini.

Kamu hidup dalam tubuhku.
Dalam euforia, dalam waktu lama,
Dalam sendiku, dalam darahku,
Memeluk jantungku, menghirup oksigen dalam paru-paruku.

Maafkan aku, Mahesa.
Aku membuat dadamu membiru.
Aku telah membuat wajahmu memar.
Maafkan aku, Mahesa. Maafkan aku.

Monday, September 3, 2018

Naresh.


Ada dua sisi yang ingin aku lihat,
Kamu, dan bayanganmu.
Aku ingin menyapa mereka,
Mendekap mereka, mencintai mereka.

Ada banyak hal yang ingin aku tanyakan.
Tentang jiwa, sebuah perjalanan,
Tentang sifat, tentang rasa,
Sebuah euforia.

Selama ini,
Aku hanya melihat rasa takutmu.
Kamu takut dilalap api,
Terbakar, sendiri.

Naresh takut tenggelam.
Dia takut terlambat mengambil napas.
Dia tidak sadar bahwa oksigen yang akan mencarinya,
Menyatu dengan paru-parunya.

Dia bagai taifun,
Dia menghancurkan,
Tapi meninggalkan jejak,
Meninggalkan cerita.

Naresh menahan diri,
Mencoba untuk tetap berada dalam batas amannya.
Naresh menakuti mimpinya,
Dia membuatnya merekah secara perlahan.

Naresh berdamai dengan dirinya,
Dia merobek kulitnya,
Dan terlahir untuk ke sekian kalinya,
Menjadi seorang penyintas yang tak kenal takut.

Ada aku, Naresh.
Jangan takut.
Lihat aku, Naresh.
Ini jiwaku yang kau genggam.

Sunday, August 12, 2018

Jahangir.

Ricuh,
Otaknya hancur,
Beracun dan menular,
Membentuk pola, mengiris fakta.

Jahangir berkaca pada masa lalunya,
Dia hanyalah seorang penyintas,
Yang berhasil karena cintanya pada musik,
Demi mewujudkan mimpinya untuk membuat orang tuanya bangga.

Jahangir berpeluh dan menggenggam erat tekadnya.
Dia berjalan dengan penuh keyakinan,
Seraya melucuti mimpi buruknya,
Membakarnya dengan api yang tak kasatmata.

Jahangir mencambuk tubuhnya,
Memaksanya untuk tetap bertahan.
Jahangir menggigit lidah dan bibirnya secara bergantian,
Berharap rasa sakit bukanlah sebuah beban baginya.

"Aku ingin pulang," ucapnya saat bercermin.
Jahangir haus akan hasil yang memuaskan.
Jahangir menyeka air matanya, dan berkata,
"Ibu, peluk aku sekarang. Aku membutuhkanmu."

Jahangir kini diselimuti cinta,
Yang sebelumnya tak pernah ia dapat dan rasakan.
Jahangir kini bahagia.
Dengan gelar 'Sang Agung' yang disematkan oleh mereka yang mencintainya.

Di balik itu semua,
Tubuhnya kesepian.
Ketakutannya pada sebuah kegagalan jauh lebih besar dibandingkan kebahagiaannya.
Jahangir yang kuat, Jahangir yang rusak.

Tetap berdiri di sana, Jahangir.
Anggap dirimu dewa,
Yang tak terbantahkan, dewa yang punya nyali,
Untuk menaklukkan dunia sekali lagi.

Sunday, April 1, 2018

Ketika Sang Surya Merana.


Membiru,
Membekas dan hancur.
Terpatri perilaku,
Tertipu waktu.

Dia terus mencari,
Sesuatu yang tak pasti.
Dia terus berharap,
Sampai pikirannya kalap.

Terbentuk dan bergerak,
Merintih dan mengerang,
Mengering dan tandus,
Meminta dan melupakan.

Dekap aku sekarang.
Baca hatiku,
Sentuh dahiku,
Remuk jantungku.

Menentang dan menolak,
Melihat dan mendesah,
Berlarilah,
Bergeraklah.

Luluh lantak dan berserakan,
Aku adalah benalu.
Berpijar dan terbakar,
Aku adalah surya yang merana.

Thursday, February 22, 2018

Devdas.

Mungkin,
Aku terlalu lama berjalan sendiri,
Sampai aku tak menyadari,
Kedua tangannya telah meraih bahuku dari belakang.

Mungkin,
Aku terlalu teguh memegang pendirianku.
Karena di saat Devdas berdiri di depanku,
Aku hanya melihat bayangannya saja.

Aku diburu oleh Devdas,
Diselimuti ketakutan akan keheningan malam,
Dibalut rasa bersalah,
Dan dibiarkan terkapar tanpa suara.

Hanya Devdas,
Yang bisa membangkitkan gairah perangku.
Hanya Devdas,
Yang mampu membuatku bertahan hingga detik ini.

Aku terlalu khawatir akan kehadiran Devdas yang tak kenal ampun.
Aku terlalu rindu akan kegigihan Devdas yang tak mengenal norma.
Aku hanyalah wadah bagi Devdas,
Untuk menuntaskan hasratnya yang tertahan selama ini.

Tiga belas tahun aku hidup dengan Devdas,
Tapi aku tak pernah menyadari apa yang telah dia korbankan selama ini.
Kami hidup berdampingan,
Tapi aku tidak pernah tahu apa yang Devdas butuhkan.

Aku hanya memacu jantungnya agar bekerja lebih keras setiap hari.
Aku hanya menelantarkan angannya yang berharga.
Aku hanya membuat remuk hatinya.
Aku tidak tahu, benar-benar tidak tahu.

Mungkin,
Ini yang disebut karma,
Yang melekat dengan hebat di sanubariku,
Yang menoreh luka secara konsisten dengan sempurna.

Saturday, February 10, 2018

Atmadeva.

Atmadeva,
Selesai sudah perjalananmu.
Kau tak perlu takut untuk melangkah,
Kau tak perlu takut untuk bicara.

Kau tidak membutuhkan waktu lama untuk bergerak.
Selama ini, kau hanya mengigau,
Memikirkan hal-hal yang tak lazim,
Dan berkutat dengan ketakutanmu.

Sekarang, sayapmu terbentang lebar,
Kau siap untuk menjadi dewasa,
Kau siap untuk melihat lebih jauh,
Kau adalah manusia seutuhnya.

Dan aku di sini,
Duduk termangu,
Mencari jalan pintas,
Berusaha melarikan diri.

Aku tidak bisa berkawan dengan kepergian.
Aku tidak mudah untuk melepaskan.
Aku selalu menghindar,
Aku selalu tidak terima.

Sebut aku lemah,
Karena aku memang begitu.
Sebut aku egois,
Karena manusia punya rasa.

Bodoh, memang, 
Karena aku menganggapmu lebih.
Atmadeva yang polos,
Atmadeva yang kesepian.

Satu hal, Atmadeva,
Aku sedang patah hati.
Dan ini elegi,
Yang tak akan aku bawa mati.

Sunday, January 14, 2018

Adhyasta.

Adhyasta,
Aku minta tolong padamu.
Bawa ragaku yang telah menghitam ini,
Dan leburkan di pinggir laut.

Adhyasta,
Semalam, aku melihatmu membatin.
Aku melihat sakitmu,
Aku melihat deritamu.

Berhenti menghancurkan dirimu sendiri.
Izinkan aku meresapi sakit hatimu.
Izinkan aku untuk tinggal di sana,
Sebentar saja.

Adhyasta,
Akan datang hari di mana kamu harus berlari.
Dan kamu tidak boleh berhenti.
Kamu tidak boleh mati.

Jangan pernah berkeluh.
Jangan pernah menoleh ke belakang.
Hadapi aku, Adhyasta.
Rengkuh hatiku.

Bawa aku pergi, Adhyasta.
Buat aku berpikir kalau apa yang kita jalani ini lumrah.
Tidak, ini bukan takdir kita.
Karena kita memilih untuk jadi satu.