Tuesday, August 11, 2020

Sadino's Monologue #2



El, mari bicara. 

Aku muak, El. Dunia ini penuh dengan keburukan. Manusia saling menghakimi satu sama lain, saling menggugat, berkelahi lewat suara. 

Aku sedang menggapai sesuatu, El. Demi menghapus kebosanan, tentunya, dan itu tidak mudah. Aku harus berpikir, melihat bayanganku sendiri, dan dikejar waktu. 

Dan orang ini datang, mematikan semangatku, merobek luka, dan mengambil kebahagiaanku. Padahal, dia adalah sosok yang acuh tak acuh, kerap memandang dunia dengan mempermudah pola pikirnya, dan gemar berbagi beban yang tidak ingin aku pikul. 

Sebentar. Aku bingung. Apakah aku harus menggunakan 'aku' atau 'kami' dalam hal ini? Vox populi? Oh, oke, 'aku' lebih tepat, karena ini egoku. 

Aku heran, El. Dulu, aku selalu memujinya. Di mataku, dia adalah orang yang cerdas dan bijak. Aku merasa dia peduli padaku. 

Dan dunia berputar. Pikiranku digempur dengan kebencian. Mendadak, si tolol bersabda, "Jangan seenaknya sendiri. Pikirkan orang lain, jangan buat aku marah."

Seharusnya, dia bertanya, "Ada apa denganmu?" atau, "Apa yang salah denganku?" Seharusnya, dia sadar bahwa apa yang aku lakukan selama ini adalah sebuah penolakan-- aku tidak ingin menjadi orang yang kotor dari segi pikiran. 

Andai aku bisa mengumpat setiap menit, tapi itu melelahkan. Andai otaknya bekerja lebih keras. Andai saja, dia mau mengakui dosa-dosanya. Aku mungkin tidak akan mengampuni, dan kebodohannya mungkin bisa memberikan jalan keluar untuk sosoknya yang dia agung-agungkan itu. 

Entah apa yang berkecamuk di dalam pikirannya, tapi pintaku, dengarkan isi kepala mereka. Tawarkan bantuan untuk mereka yang sekiranya, membutuhkan sebuah solusi. Memang, ini kerja kerasku yang tak perlu diapresiasi. Tapi, jangan merendah untuk menjadi semakin rendah. Karena aku pikir, dia sudah salah langkah. 

Dia berlaku semaunya, membedakan seseorang dengan orang lain yang duduk penuh tekanan. Aku pikir, dengan belajar menghargai sesama, matanya akan terbuka dengan mudah. Jika tidak bisa, apakah mungkin aku harus menghancurkan tengkoraknya hingga darahnya mengalir turun bak air mata? 

Aku tahu dia mampu mendengar sumpah serapah yang diteriakkan padanya. Bodohnya, dia menolak untuk mendengar. Bodohnya lagi, dia tidak peduli. Aku khawatir jika suatu saat nanti, dia akan tunduk pada suara yang membawa fakta akan siapa dirinya yang sebenarnya. 

Apa, El? Biarkan saja?

Awalnya memang begitu sampai detik ini tiba. Aku hanya tidak sanggup berhadapan dengan pendusta. Lagi-lagi, dia memaksaku untuk tidak mengabaikannya, memberiku tekanan yang seharusnya dia pikul, hingga kesabaranku berada di tapal batas. 

Aku akan melakukan sesuatu, El. Aku akan membuatnya marah. Aku akan membuatnya kecewa. Silakan, anggap saja aku balas dendam. Karena sesungguhnya, manusia tidak berhadapan dengan karma, melainkan hanya bertukar tempat untuk mengerti yang mana prioritas, dan mana yang bukan. Sekarang, dia sedang berjalan untuk berdiri di tempat yang aku beri jiwa. 

Panggil aku sang pengkhianat, dan aku akan memperkenalkannya pada dunia yang lebih waras dari isi kepalanya. 

No comments:

Post a Comment