Sunday, October 25, 2020
Sadino's Monologue #22
Wednesday, October 21, 2020
Sadino's Monologue #21
Monday, October 19, 2020
Sadino's Monologue #20
Jam tanganku menunjukkan pukul 20.32. Bumi berputar terlalu cepat untuk dilanda kesunyian, dan aku tidak menyukainya.
London juga merasakan hal yang sama. "Rumah ini perlu diberi suara," katanya.
London mematikan rokoknya ke asbak dan berjalan menuju piano tua di sudut ruangan. London pernah bilang, itu sudut favoritnya karena dia bebas berlagu sesuka hati di sana.
London duduk di atas kursi kayu di depan piano. Dia membuka penutupnya dengan perlahan, dan memperhatikan deretan tuts yang telah menunggu untuk disentuh.
London berdecak. "Aku ingin memainkan instrumental favoritmu. Tapi, aku lupa."
Aku berjalan mendekat dan memperhatikan kedua tangannya yang sudah mengepal. London kesal, karena dia benar-benar lupa.
Pandangan London beralih padaku. Dahinya mengernyit, seakan minta pertolongan.
"Kamu bisa mainkan lagu lain," kataku.
London menggeleng. "Aku mau memainkan instrumental favoritmu, bukan yang lain."
Ini kebiasaan buruk London. Untuk membuat orang-orang yang dia sayangi bahagia, dia nekat melakukan apa pun untuk mereka.
"Satu menit," London mendekatkan telunjuknya pada wajahku. "Jika aku tetap tidak ingat, tampar aku."
Aku mendengus. London mulai bersenandung sambil memejamkan kedua matanya, mencoba mengingat melodi yang hidup di alam bawah sadarnya.
"Oke," London meletakkan jemarinya di atas tuts dan tersenyum lebar. "Untuk bahagiamu."
Jemari London berhenti menyentuh tuts. Dia meletakkan kedua tangannya di atas pahanya, dan kedua matanya menatapku.
"Aku harap kamu puas meski jemariku tidak lihai memainkannya," ucapnya. "Aku sering memainkan instrumental favoritmu saat aku sedang sendirian. Melodinya menenangkan, dan di waktu tertentu, dua menit yang kuhabiskan untuk menyelesaikan instrumental favoritmu ini berubah menjadi menyedihkan."
"Menyedihkan, atau menyakitkan?" tanyaku.
"Kamu mau yang menyakitkan?" London tersenyum tipis. "Versi lain dari lagu ini menurutku menyakitkan."
Jemari London kembali menyentuh tuts piano. Kali ini, dia memainkan versi lain dari instrumental favoritku dengan jauh lebih fasih meski temponya jadi sedikit lebih cepat.
London berkeringat saat dia menyelesaikan instrumental tersebut. London menyeka dahinya dan mendengus keras.
"Ini lebih sulit. Aku harus mati rasa untuk memainkannya. Permainanku berantakan," kata London sambil menggelengkan kepalanya.
Kedua alisku mengerut. "Kenapa harus mati rasa?"
London kembali menatapku. "Karena manusia harus mematikan rasa untuk menghilangkan kebingungan. Setelahnya, logika bekerja sesuai dengan realitas. Dari situ, hal-hal yang sebelumnya tak kasat mata dapat terlihat. Bukankah begitu, Sadino?"
Aku tidak menjawab dan hanya melempar senyum simpul.
"Instrumental favoritmu ini adalah emosimu, bukan?"
Ucapan London barusan membuatku jantungku berdegup kencang meski sesaat.
"Musik adalah bagian dari rutinitasmu, dan instrumental favoritmu adalah bagian lain dari hidupmu yang tak pernah kamu buka. Yang aku mainkan tadi adalah ekspresimu dalam bentuk nada. Itu suaramu."
Aku memilih untuk bungkam. Aku akui, pernyataan tersebut mengesankan.
"Kamu pikir aku tidak mempelajari kamu, Sadino?"
Mata kami beradu. Wajah London begitu yakin akan ucapannya barusan, seakan dia baru saja membawa pulang sebuah trofi yang terbuat dari emas.
"Apa yang kamu dapat dari risetmu selama ini?" tanyaku.
London menyeringai. "Kamu yang rapuh, kamu yang remuk."
London berdiri dan menepuk kepalaku. "Kamu, yang harus aku jaga baik-baik."
Sadino's Monologue #19
El, Londonku pamit. Dia sudah pergi.
Malam itu, aku pulang cepat. Aku ingin menemui Londonku. Aku sudah tidak sabar. Aku ingin menyentuhnya, aku ingin memeluknya, aku ingin bicara panjang lebar dengannya.
London berdiri di ambang pintu saat aku tiba di rumah. Dia menyambutku dengan senyuman dan membukakan pagar rumah untukku. Padahal sebelumnya, ketika aku pulang, London hanya duduk manis di depan laptop-nya sambil merokok.
"Pulang, yuk?" London mengajakku untuk menyambangi rumahnya. Jam sudah menunjukkan pukul 00.12 malam.
"Aku pikir kamu sudah di rumah," jawabku sambil menaruh tas di atas sofa.
"Aku tahu rumahku di sana," London menunjuk dadaku dengan dagunya. "Tapi aku harus pulang ke rumah."
Aku paham, El. London ingin menghabiskan waktu yang tersisa dengan keluarganya dan aku tidak melarangnya.
"Aku pikir, aku di sini saja. Besok pagi aku ke rumahmu," kataku.
"Rumahmu di sini," London menunjuk dadanya. "Aku bisa merasakan napasmu di sini."
***
London memutuskan untuk tidak pulang dulu. Kami berbincang dan tertawa hingga pukul 03.00 pagi.
"Kelihatannya aku benar-benar harus pulang," London berdiri dan meregangkan tubuhnya. "Sampai bertemu di rumah keduamu, manis."
"Cha, nanti kita nyusulin London aja. Kita temenin dia, minta ditraktir di Harrods," katanya.
Aku hanya tersenyum hampa. Entah kenapa aku enggan untuk menyusul London ke luar negeri.
Mataku beralih pada London yang sedang sibuk memainkan ponsel pintarnya. Pagi itu, London mengenakan parka hijau army, kaus hitam panjang, skinny jeans hitam yang robek di bagian dengkul, dan sepatu Nike Air Force One putih favoritnya.
Di sampingnya, terdapat empat koper dengan warna yang berbeda-beda. Yang paling besar berwarna biru tua, dan London bilang isinya adalah sepatu-sepatu kesayangannya.
"Kamu tidak membawa buku-buku harianmu?" tanyaku.
London menggeleng. "Jaga mereka untuk aku, ya."
London mendengus dan menatapku. "Aku mau bicara. Mam, Chacha aku pinjam dulu sebentar."
Tante Elinda menepuk bahuku dan mempersilakanku untuk mengikuti London ke lantai dua, ke kamarnya.
London membuka pintu kamarnya dan menyuruhku untuk duduk di atas tempat tidurnya. London duduk di sebelahku, dan kami pun saling memandang.
London diam seribu bahasa. Dia menatapku, tapi tatapannya kosong. Pikirannya berkecamuk seraya mencari kalimat yang tepat dan pantas untuk diucapkan padaku.
"Kamu harus senang karena kamu mendapatkan hidupmu kembali sekarang," kata London. "Kamu tidak punya alasan lagi untuk pulang cepat dan memikirkan orang lain yang sedang menantimu di rumah."
Aku tidak menjawab. Aku pikir, ada baiknya aku menikmati drama yang sedang dipentaskan London.
"Aku tidak akan bicara banyak. Aku juga tidak akan menyakitimu dengan kata-kata. Keadaanmu sekarang sedang membunuhmu pelan-pelan. Aku tidak mau menambah masalah."
London mendengus. "Ini urusanku. Ini perasaanku, dan bukan urusanmu. Tapi perasaanmu, adalah urusanku. Aku hanya ingin kamu bahagia, dan aku tahu kamu punya cara untuk berbahagia. Aku tidak tahu bagaimana kamu melakukannya. Demi Tuhan aku ingin tahu. Tapi kamu, dan rahasiamu itu, tidak akan aku ganggu gugat."
London memamerkan telapak tangannya di depan wajahku. "Bahagiamu, kesedihanmu, kekecewaanmu, amarahmu, lukamu, di sini," dan London mengepalkan tangannya. "Di dalam genggamanku, dan aku menyimpannya untuk dijaga."
London mendengus untuk yang kedua kalinya. "Teruslah menjadi Sadino yang seperti biasanya. Sadino yang sok kuat, yang banyak tingkah, yang mahir menyembunyikan perasaannya. Kamu tidak sehebat itu, tapi kamu cukup pintar untuk melakukannya. Aku kagum."
"Aku sayang sama kamu," jawabku tanpa memikirkan efek dari kalimat barusan.
London terdiam. Kedua matanya menatap kosong lantai yang terbuat dari kayu. Ia mendongak, memandang pintu kamarnya yang terbuka lebar, dan berdecak.
"Terima kasih telah menjawab rasa penasaranku selama belasan tahun ini, Sadino."
***
"Kamu benar tidak mau ikut ke bandara?"
Ucapan Tante Elinda seakan memohon. Tujuannya, agar kondisi putranya tetap stabil.
Aku menggeleng. "Tidak, Tante. Nanti aku pesan Uber setelah kalian pergi."
London menepuk bahu ibunya, mengisyaratkan untuk segera masuk ke dalam mobil.
Hatiku hancur. Melepas kepergian seseorang yang ingin menggapai mimpinya seperti merelakan diriku untuk berhenti merokok. Padahal, berhenti mengisap racun berupa asap baik untuk kesehatan.
"Aku pergi," London menepuk-nepuk kepalaku. "Jangan rindu."
Aku berdecak dan menunduk. Ini berat.
"Heh," London menyentil dahiku. "Jangan begitu."
London menghempaskan dadanya pada wajahku. Wangi tubuhnya benar-benar menyebalkan.
London menundukkan kepalanya, mendekatkan bibirnya pada telingaku dan membisikkan sebuah kalimat pemungkas.
"Aku lebih hancur dari kamu."
London mengecup pipiku dan melepaskan pelukannya. Dia kembali menunduk dan menatapku, menyisakan jarak dua jengkal di antara kami.
"Sampai kapan pun, kamu tetap si cantik punyaku," bisiknya. "Aku meninggalkan sesuatu di ponsel pintarmu. Tolong dicari."
London berbalik dan berjalan menuju mobil. Tanpa menoleh ke belakang, London masuk ke dalam mobil dan menutupnya dengan kencang. Aku melambai pada mobil yang perlahan bergerak maju, dan tetap berdiri di tempat hingga mobil SUV yang dikendarai ayahnya menghilang dari pandangan.
Aku menarik napas panjang. Tanganku bergerak mencari bungkus rokok di saku celanaku. Aku mengambil sebatang rokok, dan membakarnya dengan tangan yang gemetar.
Asap putih menyembur dari mulutku. Aku berdecak, seraya menyiapkan mentalku untuk berdamai dengan kekecewaan yang baru saja terjadi. Aku tidak siap, tapi London memaksaku untuk menerima pahitnya ucapan selamat tinggal.
Sunday, October 18, 2020
Sadino's Monologue #18
Kalimat itu adalah quote dari Rune Lazuli. Dan kalimat itu ditulis oleh London di buku hariannya baru-baru ini.
Sadino's Monologue #17
El, aku akan mengajakmu berjalan-jalan sebentar. Mau, ya?
Angin dingin pada malam itu tidak menghentikanku untuk pulang ke rumah. Hujan terus turun seakan tak mengenal waktu, membasahi bumi, dan pikiran mereka yang sedang bermimpi.
Bukan main bahagianya aku ketika aku melihat London berdiri di ambang pintu. Dengan kedua tangan terlipat di depan dadanya, London tersenyum tanpa suara, menyambutku yang sudah tidak sabar untuk segera didekapnya.
Ujung bibirku bergerak dan aku sadar aku sedang membalas senyumnya. Dengan cepat, aku membuka pintu pagar rumahku, menutupnya, dan menghampiri London.
Sebatang rokok terselip di antara telunjuk dan jari tengah tangan kanannya. London menundukkan kepalanya agar bisa melihatku yang tengah semringah dengan jelas. Bola matanya yang hitam seakan berbinar di mataku.
Aku seperti anak kecil yang baru saja pulang sekolah dan sudah tidak sabar untuk segera bertemu dengan ibuku, kala itu. Kedua tanganku menggenggam erat tali tas yang melingkar di bahuku, mencoba meringankan beban di punggungku yang sudah aku pikul sejak satu jam yang lalu.
Bibirku bergerak untuk menyapa London, tapi dia memotongku.
"Aku pergi akhir pekan ini."
Mata kami saling menatap. Mulutku terbuka, tapi tidak ada kata yang keluar. Aku mendadak bisu.
London masih menatapku tanpa suara. Dia masih tersenyum, seakan apa yang ia ucapkan barusan bukanlah hal yang penting. Dia terlihat tenang, seperti London yang tak punya beban.
"Biasanya, emosimu langsung memuncak saat mendengar hal-hal yang tidak ingin kamu dengar," London menyindirku. Suaranya masih terdengar tenang seperti biasanya.
Aku sadar kedua mataku terus bergerak ke kanan dan ke kiri. Aku menundukkan wajahku dengan cepat, dan kini kedua mataku menatap lantai tempatku berpijak. Aku perhatikan sepatu putihku yang kotor. Aku pikir, aku harus mencucinya. Tapi, pikiranku kosong, entah apa yang aku pikirkan.
Mendadak, aku mati rasa. Seperti terkena serangan jantung secara mendadak, jantungku seperti diremas dan dirobek di saat yang bersamaan. Pedih, tapi tak berdarah.
Hening. Kami tak bersuara. Angin menerpa tubuhku, entah itu sindiran atau bukan. Mungkin, angin mengisyaratkanku untuk segera menjawab pertanyaan London. Tapi, aku tidak punya jawaban. Mendadak, aku buta aksara.
Aku tidak tahu apakah London masih menatapku atau tidak. Dia tidak bergerak, dan tubuhnya masih bersandar pada pintu.
"Yang rapuh itu bukan cuma kamu."
London berjongkok. Kepala menengadah melihatku. London masih tersenyum, tapi air matanya telah membasahi pipinya.
"Hatiku, pikiranku, dan tubuhku, ternyata jauh lebih rapuh dari kamu."
Air mata London bergerak turun ke dagunya, seakan berlomba, siapa yang akan membentur tanah terlebih dahulu. London terlihat berusaha tenang. Dia berulang kali mengatur napasnya. Tapi, kekecewaan dan kesedihannya meronta ingin diperlihatkan. Dia tidak bisa menahannya, dan pada akhirnya, London membebaskan mereka.
Tangan kananku bergerak. Jemariku kini menyentuh rambutnya yang acak-acakan, mencoba merapikannya, tapi percuma. Aku menelan ludah dan menarik napas panjang, mencoba menjinakkan emosiku yang sudah tidak karuan.
Ternyata, aku tidak bisa. Aku menyerah. Wajah kami sama-sama basah sekarang.
"Setelah bertahun-tahun lamanya, aku menemuimu hanya untuk berpisah denganmu,"
kata London.
"Selama ini, waktu yang aku buang untuk kamu ternyata masih belum cukup.
Ternyata, aku masih rindu."
"Mungkin aku dikutuk.
Karena di saat aku menatapmu seperti ini, aku masih merindukan kamu."
"Aku ingin tidur, London," ucapku tiba-tiba. "Aku lelah."
"Silakan, kalau kamu bisa," London berdiri dan meregangkan tubuhnya. "Tapi janji, hari ini kamu bisa tidur pulas."
Aku tidak menjawab dan kembali menelan ludah. Aku benar-benar kehabisan kata-kata.
"Aku tidak perlu jawaban dari kamu, Sadino," London menjawab pertanyaan di pikiranku. "Aku hanya butuh kamu. Kamu yang kuat, kamu yang mandiri."
London mempersilakanku masuk ke dalam rumah, seakan-akan ini adalah rumahnya. Aku berjalan masuk, menaruh tasku di sofa, melepas jaketku, dan melemparnya ke sebelah tasku.
"Tunggu. Aku punya pertanyaan dan aku perlu jawabannya," kata London sambil menutup pintu.
Aku menatapnya dengan kedua alis terangkat. London bersandar pada pintu yang barusan dia tutup dan kembali melipat kedua tangannya di depan dadanya.
"Kenapa Sadino yang biasanya acuh tak acuh pada London,
berdarah lebih cepat saat London mengucapkan selamat tinggal?"
Sadino's Monologue #16
Rasa itu rumit ya, El?
Teruntuk sebuah rasa, aku merasa gugup. Aku sudah lama tidak merasakan hal ini. Oh, aku tidak akan mengatakannya padamu, El. Toh, kamu juga sudah tahu.
Aku tidak bisa mendefinisikan sebuah rasa. Rasa itu mengalir, kadang meneduhkan, kadang menghancurkan. Aku tidak bisa menjelaskan apa yang aku rasakan sekarang. Mendadak, aku merasa seperti buta bahasa.
Mungkin, aku sudah mati rasa terlalu lama, El. Aku bingung harus mulai dari mana untuk membenahi hal ini. Apakah aku harus menerima dan menelan semua hal yang berkaitan dengan perasaan, atau menolaknya dengan sopan.
Kelihatannya, aku telah mengabaikan perasaanku dalam waktu yang cukup lama. Aku menjadi tidak peka, berbuat semauku, dan bicara sesukaku.
Aku selalu mendahulukan orang lain, El. Aku—kalau boleh jujur—nyaris tidak pernah memikirkan perasaanku sendiri.
Aku pikir, tidak ada manusia yang mau mendengarkan cerita manusia lain dengan tulus. Kalau pun hal itu dilakukan, manusia melakukannya untuk menuntaskan rasa ingin tahu mereka atau hanya sekadar disebut 'perhatian'.
Aku tidak ingin bicara banyak mengenai rasa. Meski aku ingin mengelaborasi apa yang aku rasakan saat ini, aku lebih memilih untuk menyimpannya rapat-rapat.
Alasannya, karena aku mudah terluka, El. Menjabarkan sebuah rasa sama dengan menguliti diri seseorang hidup-hidup.
Friday, October 16, 2020
Sadino's Monologue #15
Aku benci dengan orang yang buta cinta, El.
Tapi, aku tidak bisa menyalahkan mereka.
Beberapa hari lalu, seorang teman—sebut saja Guiraud—bercerita tentang kehidupan cintanya yang rumit, El. Dengan antusias, aku mendengarkan kisahnya yang pilu itu.
Yang dialami oleh Guiraud cukup pelik, El. Bukan karena perempuan yang dia cintai, tapi keputusannya untuk melebur dengan tanah yang dia pijak. Dia memilih untuk bersatu dengan humus yang mengandung unsur hara; membentuk sebuah jaringan kehidupan yang baru, tapi tidak tahu mau diapakan.
Guiraud terjebak di dalam zona nyamannya. Logikanya mati, karena perasaannya dipaksa untuk bekerja keras setiap hari. Guiraud mempertahankan apa yang dia miliki, menjadikan hal itu sebagai tanggung jawabnya, tapi membunuhnya secara perlahan.
Kadang, manusia tidak sadar bahwa cinta itu memiliki kemampuan untuk membutakan dan mengambil alih kendali yang selama kita pegang teguh, El. Cinta itu memperkaya sebuah rasa, kehidupan, tapi kadang menjemukan, dan menghancurkan.
Permasalahan terbesar Guiraud adalah, dia tidak bisa membaca dirinya sendiri. Dia tidak tahu apa yang dia butuhkan, dan dia haus akan cinta. Itu bodoh, El. Dahaga yang dia rasakan itu tidak akan pernah bisa sembuh jika Guiraud tidak mau mencari penawarnya. Ya, Guiraud memilih untuk berhenti minum untuk melukai kerongkongannya.
Fenomena ini normal, dan kamu pasti sering melihatnya, El. Demi kebahagiaan, manusia kadang berkorban terlalu jauh dan terlalu besar tanpa memedulikan diri mereka sendiri. Menurutku, seharusnya logika dan perasaan itu harus dilahirkan dalam keadaan yang imbang, bukan main hakim sendiri.
Jika hal itu terus terjadi, manusia akan tunduk pada ego. Manusia akan mengalah pada hal-hal yang bersifat fana. Di saat yang sama, realitas memberikan tuntutan yang tidak mengenal waktu dan keadaan. Akibatnya, sebuah ledakan kejiwaan terjadi, membunuh insting yang mengubah pola pikir seseorang menjadi tidak waras.
Aku menyalahkan Guiraud yang merendahkan dirinya hingga di bawah nol, El. Dia berhak untuk bernapas, dia berhak untuk bergerak bebas. Itu hak yang dia dapat sejak tangisannya menggema di ruang operasi, beberapa detik setelah ibundanya berjuang melawan kematian.
Ini kompleks, El. Tapi, jika logika berada di posisi yang setara dengan perasaan, aku yakin Guiraud mampu memutuskan hal yang baik untuk hidupnya. Aku hanya menyayangkan Guiraud yang pintar tunduk pada perempuan yang lebih mementingkan egonya untuk bahagia. Itu tidak adil, El.
Terserah saja, El. Manusia bebas untuk berpendapat, dan ini pendapatku. Pandangan setiap orang tentu berbeda, dan aku tidak mempermasalahkan itu, sebenarnya.
Sadino's Monologue #14
Ada satu hal yang belum bisa aku ungkapkan pada Dove, El. Kemungkinan besar, aku tidak akan mengatakannya. Alasannya? Karena omonganku akan menghancurkan sebuah persepsi, El.
Sejak dulu aku bingung, El. Apakah aku harus berempati, atau bersimpati pada Dove.
Terekam dengan jelas di kepalaku saat matanya berbinar ketika mendengar musik favoritnya. Bagaimana dia menyikapi sesuatu yang tidak bisa dia kontrol, bagaimana ketakutannya akan masa depan menghancurkan pikirannya secara perlahan. Aku ingat itu, El.
Tidak, Dove bukan orang yang manja, El. Sekali lagi aku ingatkan, dia hanya membutuhkan bimbingan. Dia hanya ingin jalan keluar. Dia hanya ingin melihat dunia dari perspektif yang berbeda.
Aku memang bukan jawabannya, El. Kehadiranku adalah sebuah ancaman, dan aku sadar betul akan hal itu. Hanya saja, aku memilih untuk ditaklukkan, bukan untuk dikenang.
Aku akan terus berdiam diri di sudut yang ia buat, El. Tenang saja, aku tidak akan melakukan sesuatu di luar kendali. Tidak, El. Aku tidak akan menunggu untuk terluka lagi.
Karena menurutku, Dove yang akan terluka hingga berdarah-darah, El. Dan aku akan ada di sana untuk membersihkan lukanya.
Sadino's Monologue #13
Aku ingin si tolol ini bertukar posisi, El. Saat dia berada satu level di bawah tanah, aku yakin dia tidak akan bisa bernapas. Alih-alih mencari jalan keluar, orang seperti dia pasti hanya akan berteriak minta tolong.
Dunia ini ganas, El. Dan aku berpijak di atas tanah yang ditinggali oleh mereka yang kemampuannya di bawah rata-rata. Apa yang menjadi indikator mereka untuk tetap hidup? Apakah kebodohan adalah target utama pencapaian mereka selama ini?
Aku hanya bisa menerka, El. Aku tidak mau terjun bebas ke dalam jurang keangkuhan. Aku pernah dipeluk oleh kegelapan, dan aku berusaha keluar dari sana. Jika aku memilih untuk pasrah, lebih baik aku mati cepat, El.
Semua hal yang dilakukan manusia di saat mata mereka terbuka lebar menantang dunia adalah bagian dari sebuah regulasi, El. Tentunya, untuk menduduki puncak dari sebuah teori, manusia harus mempelajarinya terlebih dahulu.
Aku pikir, manusia harus mempelajari diri mereka sendiri, El. Mereka harus tahu batas, mereka harus tahu tingkat kesabaran diri mereka sendiri. Jika mereka tidak mengetahuinya, untuk apa menggurui orang lain yang lebih pintar?
Sekarang, aku dikelilingi oleh mereka yang angkuh akan kekurangan diri mereka sendiri. Lagi-lagi, aku baru saja menelan racun paling mematikan di muka bumi. Aku tidak mau isi kepalaku ternodai akan hal-hal yang semu, El. Aku tidak mau mati dalam keadaan terdesak.
Aku tahu kamu akan hanya menggeleng-gelengkan kepalamu, El. Integritasku sebagai manusia mengalami gangguan, dan orang-orang inilah penyebab utamanya. Aku ingin isi kepala mereka dibenahi, dirapikan sedikit agar mereka tidak terlihat memalukan.
Bukan urusanku, memang, dan aku juga tidak akan terpengaruh untuk menelan apa yang mereka perbuat. Hanya saja, aku benci dengan kinerja otak mereka demi mendapatkan gelar "seorang pahlawan yang bijaksana dan bertanggung jawab".
Goblok, kok, dipelihara.
Sadino's Monologue #12
Mataku lelah, El. Pikiranku juga.
Ini yang dinamakan sebagai "hadiah dari Yang Kuasa?"
Bukannya aku tidak bersyukur, El. Aku sudah melewati fase itu, dan aku sudah bisa menerima bahwa aku berbeda dengan mereka. Aku bisa melihat warna yang tidak dilihat orang-orang, dan aku terima itu.
Sebenarnya, aku tidak ingin mengumbar hal ini, El. Hanya saja, aku muak dijadikan berhala oleh mereka yang tak tahu diri. Ada beberapa hal yang tidak bisa diartikan oleh manusia, dan sebagai raga yang hidup, kita harus menerimanya. Itu riil.
Jangan menjadi seorang manusia yang bodoh dengan hanya memikirkan diri sendiri. Jika sudah bertemu jalan buntu, manusia menyebutnya dengan "takdir". Apa salahnya untuk berjalan mundur atau menoleh ke belakang, daripada duduk termenung menunggu bantuan?
Manusia itu tidak pernah salah. Kami selalu benar. Asal, manusia mau mengesampingkan dogma. Tapi, dogma lahir dari persepsi manusia akan kehancuran dunia. Untuk terhindari dari ketakutan itu, lahir sebuah norma sebagai panduan untuk menjadi "manusia yang baik".
Tapi, manusia itu tamak. Mereka ingin mendahului waktu. Mereka ingin tahu seperti apa masa depan mereka nanti. Mereka ingin tahu rahasia orang lain. Mereka gemar mencongkel keburukan orang lain, dan aku muak dengan itu, El.
Akhir-akhir ini, aku kesulitan untuk mengontrol keinginanku untuk bertanya. Aku tidak berniat membantu, melainkan penasaran-- kenapa mereka mempersulit keadaan dengan memikirkan hal-hal di luar realitas? Secara tidak langsung, mereka adalah kaum radikal. Tapi--tentu saja--hal itu tidak akan pernah mereka akui.
Sekalinya aku bertanya, aku digempur dengan pertanyaan lain yang kadang menghancurkan sistem kerja otakku. Dalam waktu singkat, mereka berubah menjadi pengikut paham nihilisme. Aku tidak melarang dan tidak menyalahkan. Tapi, kenapa aku?
Karena aku bertanya kepada mereka, El? Aku hanya membimbing mereka untuk menemukan solusi. Aku hanya mengajak mereka berputar-putar di tempat yang sama, hingga jawaban yang mereka harapkan muncul di dalam pikiran mereka sendiri.
Garis bawahi itu, El. Aku tidak memberi mereka solusi, melainkan mengantar mereka ke pintu keluar dengan usaha mereka sendiri.
Untuk beberapa orang, aku tidak mempermasalahkan hal itu. Tapi, sisanya, mereka tahu apa? Mereka tidak mengenalku, mereka tidak berhasil menembus garis pertahananku. Aku sangat selektif, El. Bukan berarti aku pilih-pilih orang dan tak mau berhubungan dengan mereka, tapi aku tidak mau dibutakan dengan rasa peduli yang mengatasnamakan loyalitas.
Aku hanya berbagi dengan beberapa orang soal ini, Elohim. Kamu pasti paham. Aku tidak mau terkontaminasi racun yang tidak mengandung moralitas. Aku melakukan ini demi kebaikanku sendiri.
Kenapa manusia mudah percaya dengan hal-hal yang menjanjikan? Padahal, mereka mudah untuk mengingkari sebuah janji. Rasanya, aku seperti sedang berkubang dalam kolam darah dari sebuah pembunuhan massal. Ini pembohongan publik, namanya.
Otak dan mataku tidak pernah berhenti bekerja, El. Aku ingin istirahat, pergi jauh dari hingar-bingar kota yang penuh polusi dan sakit hati. Tempatku lahir adalah kota yang marah, dengan penduduknya yang gemar menghabiskan waktu demi mendapatkan kebahagian dengan menghalalkan segala cara.
El, kamu pasti sedang berpikir kenapa pembicaraanku tiba-tiba meluas dengan sendirinya. Kamu pasti sadar, semua itu berkaitan dan efeknya cukup besar dan sensitif. Aku berada di tengah-tengahnya, berusaha menyelamatkan diri dari peluru-peluru yang ditembakkan secara asal.
Aku butuh bantuanmu, El. Kamu mentorku. Lindungi aku dari mulut-mulut yang saling beradu. Selamatkan "hadiah dari Yang Maha Agung" yang bersemayam cukup lama di dalam diriku. Genggam jiwaku, dengarkan batinku.
Tidak, El. Aku tidak akan meminta agar "hadiah" ini dikembalikan. Aku terpilih untuk menjadi saksi bisu akan indah dan kejamnya kehidupan, dan aku mensyukuri hal itu. Hanya saja, bumi berotasi, begitu juga mereka yang berpijak di sana. Dalam satu tarikan napas, aku sudah bisa menerka, apa arti dari sebuah kehancuran yang sebenarnya.
Izinkan aku melebur untukmu, El. Aku meminta untuk dituntun. Karena hanya kamu yang mengerti aku.
Sadino's Monologue #11
Mungkin ini alasan kenapa aku menaruh rasa padanya. Bukan, orang ini bukan London. Bagaimana kalau kita panggil dia dengan sebutan "Bobcat"?
Ada alasan kenapa aku ingin memanggilnya dengan nama binatang itu, El. Aku pernah membaca buku spiritual tentang hewan, judulnya "Animal Speak: The Spiritual & Magical Powers of Creatures Great and Small". Buku itu ditulis oleh Ted Andrews dan dijual ke pasaran sekitar tahun 2002.
Agak sulit mencari buku itu. Tapi untunglah, teknologi semakin berkembang, dan aku bisa membacanya secara online.
Bobcat adalah predator yang bentuknya seperti kucing raksasa. Ukurannya lebih kecil dari singa dan harimau, kurang lebih seperti lynx. Menurut "Animal Speak: The Spiritual & Magical Powers of Creatures Great and Small", bobcat melambangkan kesendirian, bentuk penglihatan yang jelas, dan rahasia.
Berdasarkan paham totemisme, bobcat melambangkan fleksibilitas, rasa ingin tahu terhadap diri sendiri, cenderung misterius, penuh teka-teki, elusif, dan tahu bagaimana menjalani hidup. Ini sesuai dengan sosok yang aku sebut sebagai "Bobcat".
Tapi, Bobcat yang satu ini rapuh, El. Dia rentan, dan terlalu tunduk pada sekitarnya. Kadang, dia ingin bebas tanpa syarat. Namun, dia tidak punya keberanian untuk melangkah, El. Dia terpatri pada lingkungannya. Dia terlalu lama diselimuti oleh cinta dari lingkungannya, dan kau tahu kalau itu hanya sementara, El.
Apa? Aku harus mengganti namanya? Bukan Bobcat? Kau pikir, sebutan itu tidak cocok dengannya? Kalau begitu, bagaimana dengan Dove?
Dove atau merpati melambangkan kepercayaan, kesederhanaan, dan kepolosan. Aku rasa, omonganmu ada benarnya juga. Dove juga melambangkan individu yang rentan. Baiklah, aku setuju, El.
Sesuai dengan paham totemisme, Dove adalah simbol ketenangan dan kedamaian. Ini sesuai. Tapi menurutku, dia terlalu tenang, El. Dia cari aman. Dove yang satu ini tidak mau melepas topengnya, kecuali dalam keadaan terdesak.
Lalu, kenapa aku menaruh hati pada Dove? Karena, bagaikan seekor merpati yang dimangsa kucing hutan, Dove adalah sosok misterius yang rentan. Bukan berarti aku menyukainya, El. Tapi, energi kerentanannya sukar dipahami.
Dalam tidurku, aku kerap mendengar jeritan minta tolong dan itu suara Dove. Doveku yang malang-- dia tidak bisa menghadapi dirinya sendiri. Terlalu banyak hal yang dia pikirkan, dan rata-rata tidak penting. Dove tidak bisa membedakan prioritas untuk keselamatan dirinya dan orang lain. Dove butuh dibimbing, tapi secara kasat mata.
Aku pernah membantunya, dan aku tidak akan melakukannya lagi. Kecuali, jika dia berani untuk meminta padaku. Hidupnya bukan urusanku, El. Meski menarik untuk disimak, aku tidak mau mempersulit diriku sendiri.
Ada satu hal dari Dove yang aku jadikan pelajaran berharga-- jangan pernah menunggu untuk terluka. Jangan menunggu sampai sayapmu patah, karena ketika kamu harus terbang, kamu hanya memperburuk keadaanmu.
Kamu tahu dia, Elohim. Kamu pernah melihatnya. Mungkin sering. Dan aku tahu, kamu ingin memeluknya, bukan? Aku setuju, El.
Thursday, October 15, 2020
Lou
Why is it so hard to find the one, again?"