Saturday, July 11, 2020

Im Jaebeom, Aku Mendengarmu

Jakarta, 10 Juli 2018


Hingga detik ini, aku masih belum bisa move on dari konser GOT7 di ICE, BSD, Tangerang, 30 Juni lalu. 

Aku selalu mempertanyakan hal ini dari dulu. Kenapa boyband K-Pop begitu memesona di mataku? Mulai dari Super Junior, GOT7, sampai Big Bang, musik dan aksi mereka di atas panggung selalu menyayat hatiku dengan perlahan, membuatku memekik dan menggelengkan kepala sambil berkata, "Ya Allah, ganteng banget, sih."

Para idola K-Pop lebih dari sekadar idola. Mereka begitu diagungkan dan dipuja bak berhala. Lucunya, aku tak memercayainya dan memilih untuk mengagumi mereka dalam diam. 

Sampai akhirnya, aku diberikan kesempatan oleh Mbak Niken, Editor kumparanK-Pop untuk meliput konser GOT7 yang bertajuk "Eyes On You World Tour 2018". 

Aku datang terlambat. Saat aku masuk ke dalam ruang konferensi pers, ketujuh anggota GOT7 terlihat duduk di atas kursi di atas panggung kecil. Entah apa yang terjadi, aku menganga melihat mereka.
Photo: Anissa Sadino
GOT7 di Jakarta. Jaebeom (tengah). Photo: Anissa Sadino

Tak lama kemudian, mereka semua berdiri dan siap untuk difoto. Saat itu, tanganku gemetar hebat. Ketujuh anggota GOT7 terlihat seperti boneka porselen di mataku. Tapi, entah kenapa, rasanya menyenangkan melihat mereka berdiri di panggung sambil menebar senyum. 

Pandanganku tertuju pada leader GOT7, JB atau Jaebeom. Padahal, Jackson adalah biasku dan Jaebeom adalah biasku yang kedua. Penampilan Jaebeom kala itu benar-benar... Sudahlah. 

Konferensi pers selesai, dan aku berkesempatan untuk menikmati konser mereka pada malam harinya. Konser selesai, dan wajah Jaebeom terus muncul di kepalaku sampai hari ini. 

Untungnya, ada teman kantorku--namanya Lintang--yang memiliki perasaan yang sama denganku. Kami sama-sama menyukai Jaebeom, dan kami kerap berkirim direct message di Instagram yang isinya tentang Jaebeom.  

Sampai suatu hari, Lintang menyuruhku untuk menonton video tentang Jaebeom di YouTube. Video tersebut menampilkan Jaebeom di hari ke-3 konser "Eyes On You" di Seoul, Korea Selatan. Dia menangis, sambil bicara pada para penggemarnya soal dirinya sendiri. 


Awalnya, Jaebeom hanya bercerita soal kerja keras GOT7 hingga grup yang membesarkan namanya itu bisa dikenal oleh orang-orang di seluruh dunia. Dia juga berterima kasih pada penggemar dan menginginkan GOT7 untuk terus memberikan yang terbaik untuk mereka. 

Saat ini, GOT7 sedang mempromosikan Extended Play atau EP terbaru mereka, "Eyes On You". Tentu saja, ketujuh anggota GOT7 bekerja keras untuk memberikan penampilan terbaik agar tidak mengecewakan penggemar. Sebagai seorang leader, Jaebeom bertanggung-jawab akan penampilan grupnya. Jaebeom terus memikirkan hal itu, dan dia mengaku menyalahkan dirinya sendiri jika GOT7 tidak bisa memuaskan para penggemar dengan EP terbaru mereka. 

Di saat itulah, Jaebeom berbalik, menutupi kepalanya dengan tudung jaketnya, dan menangis. 

Keenam anggota lain menghampirinya dan memeluknya, mencoba menguatkan sang leader agar dia menyelesaikan kalimatnya. Jaebeom, dengan segenap kekuatannya, kembali bicara dan masih menyalahkan dirinya. Lagi-lagi, Jaebeom terisak, berjongkok, dan kembali menangis. 

Para anggota kembali menghampiri dirinya. Jaebeom kembali berdiri dan mengatakan bahwa dia malu karena menangis. "Aku benar-benar memikirkannya," katanya dengan suara bergetar. 

Jaebeom terdiam sejenak, berusaha memilih kata yang tepat untuk diucapkan. Hingga akhirnya, Jaebeom membicarakan cinta matinya. 

"Aku senang bermusik. Aku menyukainya. Aku benar-benar menyukainya." 

Jaebeom menarik napas. Di sebelahnya, Mark terlihat menganggukkan kepalanya. Dia setuju dengan ucapan Jaebeom. 

"Aku akan melakukan yang terbaik. Aku akan memperlihatkan hal-hal yang ingin aku tunjukkan pada kalian. Aku akan bekerja lebih keras untuk ke depannya," kata Jaebeom diiringi sorakan penggemar. 

Hatiku hancur bukan main. Rasanya, aku ingin memeluk Jaebeom saat itu juga. Melihat dia terisak dan menangis karena mimpinya sendiri membuatku sedih. 

Industri K-Pop memang sangat keras. Mereka sudah dilatih untuk menjadi seorang artis sejak usia mereka masih belia. Jaebeom sudah bergabung dengan JYP Entertainment, agensi hiburan yang menaunginya, sejak usianya 15 tahun. Kala itu, dia lolos audisi bersama Jinyoung yang kini berkarier di GOT7 bersamanya. 

Jaebeom memulai debutnya bersama Jinyoung lewat duo JJ Project di tahun 2012. Ya, Jaebeom dan Jinyoung membutuhkan waktu 3 tahun untuk bisa diperkenalkan pada publik. 

Pada tahun 2014, Jaebeom dan Jinyoung kembali diperkenalkan sebagai anggota GOT7 bersama Jackson, Yugyeom, Yongjae, Mark, dan Bambam. Ya, Jaebeom menghabiskan waktu selama 5 tahun untuk mendapatkan posisinya sekarang ini. 

Jaebeom juga ditunjuk sebagai leader boyband yang melantunkan "Fly" itu. Tanggung jawabnya pun semakin berat karena dia harus mengatur keenam anggotanya dan menyemangati mereka saat latihan mau pun saat tampil di atas panggung. 

Sebagai leader, Jaebeom berhak memarahi anggotanya yang malas dan menegur mereka yang tidak disiplin. Kesempurnaan aksi GOT7 di atas panggung pun bergantung padanya, begitu juga saat GOT7 menghadapi penggemar. Jaebeom harus mengeluarkan usaha lebih untuk membahagiakan para penggemarnya, saat konser maupun di luar konser. 

Saat Jaebeom ditunjuk sebagai leader, usia Jaebeom masih belasan tahun. Di saat anak seumurannya tengah seru-serunya menempuh pendidikan, bermain bersama kawan-kawannya hingga larut malam, dan berusaha mendapatkan hati perempuan yang mereka sukai, Jaebeom harus mengurus kariernya dan GOT7 untuk menjadi sebuah grup musik yang unik dan dicintai banyak orang karena musik dan tarian mereka. 

Di satu sisi, Jaebeom menginginkan hal itu, yakni hidup normal layaknya anak seumurannya, bermain game hingga larut malam, dimarahi orang tua karena bolos sekolah, dan pergi kencan dengan pujaan hatinya. Tapi, keputusannya untuk terjun di industri K-Pop yang keras membuatnya mengalah pada egonya. 

Di usia 24 tahun, Jaebeom adalah seorang jutawan. Bersama GOT7, dia sudah mengelilingi dunia untuk menunjukkan kemampuannya sebagai seorang pekerja seni. Di usia yang sangat muda, Jaebeom telah memperlihatkan kapasitasnya sebagai seorang pemimpin yang bertanggung-jawab hingga mendapatkan cinta dari para penggemarnya di seluruh dunia. 

Semua, karena cintanya pada musik. 

Aku yakin, Jaebeom tak menyangka bahwa namanya akan dikenal oleh banyak orang. Dia tak menyangka bahwa kerja kerasnya selama ini telah membuahkan hasil. Mimpi anak-anak seumurannya, yang ingin berkeliling dunia di usia muda dan dicintai oleh banyak perempuan, telah tercapai. Jadi, berbahagialah, Jaebeomie. 

Tapi, aku juga menyadari satu hal. Tanggung-jawab yang ia pikul sangat berat. Di saat Jaebeom menebar senyum di hadapan ribuan penggemarnya, ada rasa sakit yang dia simpan. Ada rasa kehilangan, ada ketakutan, dan ada kesedihan yang tidak boleh ia perlihatkan. 

Jaebeom mungkin sadar bahwa cintanya pada musik sebenarnya membunuhnya secara perlahan. Meski orang-orang mengapresiasi kerja kerasnya, hatinya beku. Jaebeom takut akan kesalahan, sekecil apa pun itu. Jaebeom mengkhawatirkan orang-orang di sekitarnya, terutama anggota GOT7, tanpa memedulikan dirinya sendiri. 

Sejak dulu, Jaebeom dilatih untuk menjadi sosok yang berhati baja. Peluhnya adalah emas, tulang-tulangnya adalah besi. Dia tidak boleh jatuh sakit. Otot-ototnya selalu dipacu untuk bekerja, begitu juga kualitas vokalnya yang harus selalu prima. 

Baginya, panggung adalah surga. Menari adalah kegiatan favoritnya, musik mengalir dalam darahnya. Jaebeom yang tak kenal lelah berdiri di sana, di bawah sorot lampu, menatap ke keramaian yang dibuat oleh penggemarnya. 

Dia bergerak mengikuti irama. Sorot matanya tajam, tanpa peduli dengan keringat yang membasahi wajahnya. Jantungnya berdetak dengan cepat. Seraya mengatur napas, Jaebeom menyelesaikan sebuah lagu tanpa ada gerakan dan nada yang salah. 

Jaebeom menatap ke lantai tempatnya berpijak. Keringatnya menetes dan terjatuh ke lantai tempat matanya memandang. Jaebeom menelan ludah, menarik napas, dan tersenyum lebar. Dia merasa puas, dan perasaan itu membuatnya bahagia. 

Tapi, Jaebeom tak sadar bahwa seluruhnya tubuhnya terasa sakit. Jaebeom merasa mual, namun dia menahannya. Lampu panggung dimatikan dan Jaebeom berlari ke sisi kanan panggung. Di balik tirai hitam, dia menyentuh dadanya dan mengusapnya dengan perlahan. Jaebeom meminta tubuhnya untuk bersabar. Jaebeom memohon pada tubuhnya agar tetap bertahan hingga lagu terakhir. 

Mendadak, tubuhnya terasa seperti terbakar. Organ-organ di dalamnya terasa seperti meledak. Tubuhnya membiru dengan cepat. Tapi, masih ada tiga lagu yang harus dia selesaikan. Tanpa pikir panjang, Jaebeum kembali menampakkan dirinya di panggung. 
Jaebeom terus bergerak. Dia memaksa dirinya untuk bersuara. Dengan segenap tenaga, Jaebeom menari sambil menutup matanya. Dia meningkatkan konsentrasinya. Ingat, tak boleh ada kesalahan. 

Lagu terakhir selesai dilantunkan dan Jaebeom jatuh ke lantai. Kedua tangannya memar, pembuluh darahnya pecah tanpa aba-aba. Namun, Jaebeom berdiri seakan tidak terjadi apa-apa. Dia melambai ke arah penggemar, tersenyum, dan berlari ke sisi kanan panggung.  
Jaebeom berjalan cepat menuju ruang ganti. Sesampainya di sana, dia berdiri di depan kaca. Tubuhnya babak-belur. Meski demikian, Jaebeom lega karena tubuhnya hanya berdarah di dalam. 

Sambil memperhatikan tubuhnya, Jaebeom tersenyum. Air matanya muncul dan menuruni pipinya. 


"Kamu hebat, Im Jaebeom," ucap Jaebeom pada dirinya sendiri.
"Kamu hebat. Ini mimpimu. Bertahanlah."

Manusia dan Agungnya Sebuah Gelar

Jakarta, 29 Mei 2018


Manusia terlalu angkuh dan terlalu bangga pada diri mereka sendiri.
Mereka pikir, mereka pintar bicara. 

Semakin banyak gelar, kelas sosial mereka mendadak meroket bagaikan inflasi. Tapi, jika mereka mati, gelar yang mereka bawa hanya satu, yakni 'almarhum'. 

Rasa hormat lahir dengan sendirinya. Tanpa syarat, tanpa propaganda. Mereka yang tunduk pada sebuah gelar mengatasnamakan iman dan takwa untuk mendukung sosok yang mereka agungkan. Mendadak, seluruh pembicaraan dan pembelaan yang ada akan suatu masalah dianggap benar, lengkap dengan campur tangan sistem tata keimanan. 

Budaya masyarakat Indonesia memang begitu. Malas, dan terlalu cepat mengambil keputusan tanpa mencari mau pun menerima bukti yang ada. 

Makna dari sebuah kata memiliki seribu arti, dan tidak tepat jika manusia hanya memanfaatkan momen sebuah konteks untuk menghakimi orang lain. Terlalu mudah untuk diperkarakan, karena mereka mengambil suara terbanyak tanpa memotong urat malu mereka. 

Akibatnya, beberapa pihak dirugikan. Padahal, manusia bebas berpendapat. Memang ada aturan atau hukum yang berlaku untuk menjaga perilaku, dan kita bisa menemukannya dalam kitab undang-undang. 

Tapi, sadarkah bahwa orang-orang yang menjadi sumbu pendek dalam sebuah permasalahan adalah para pelaku utama yang tak bisa bertanggung jawab? Apakah mereka tahu bahwa pola pikir yang sesat mampu mengontrol sebuah lingkungan? 

Mungkin, sudah terlalu banyak orang gila yang bernapas tanpa syarat di sini. Intuisi mereka mungkin sudah lama mati. Lagi-lagi, hal itu dianggap lumrah dan harus diterima dengan berat hati. 

Nasib mereka yang dihujat dan menghujat, tanpa mereka sadari, setara. Tak lagi ada kelas sosial, tapi kata-kata kasar yang saling berpihak. Mereka layaknya manusia-manusia yang tak pernah belajar bahasa, tak punya norma, dan menuntut keadilan demi kepentingan sesama. 

Saya pikir cukup. Saya nyaris muntah darah menulis tulisan ini. Terima kasih atas pengertiannya.

Merayakan Kepulangan Anakku pada Sang Esa

Jakarta, 31 Mei 2018 - Bom Surabaya


Apakah kamu tahu, perang yang paling menyeramkan di dunia?
Ya, berperang dengan diri sendiri.

Sejak kamu membuka matamu di pagi hari, kamu sudah berada di medan perang. Kamu akan berperang dengan orang-orang yang punya kepentingan. Logikamu akan berperang dengan perasaanmu. Kamu harus mengakuinya, setiap usaha yang telah kamu lakukan, mudah atau sulit, membutuhkan keringat dan kemauan.

Warga Surabaya sedang dilanda ketakutan. Selama dua hari, ledakan bom bunuh diri menghantui dan melekat di pikiran mereka. Rasa takut untuk melakukan sesuatu seakan bersifat abadi, menghancurkan keyakinan akan tenteramnya hidup berdampingan dengan sekelompok individu. Ya, warga Surabaya sedang berada dalam sebuah peperangan. 

Manusia menebar teror karena sebuah alasan. Alasan yang tak dapat dimengerti, tak dapat diterima, tak dapat dipercaya, dan lahir dari perang batin. Apa pun alasannya, setiap manusia punya tujuan dan hal itu lumrah. Mereka berperang dengan banyak hal, termasuk dengan diri mereka sendiri agar tujuan mereka tercapai. 

Sang penebar teror pun diberi gelar. Teroris, dengan aksi kekerasan yang berawal dari menghalalkan segala cara untuk mencapai sebuah tujuan. 

Keluarga Dita Oepriarto yang terdiri dari seorang istri dan empat orang anak tewas bunuh diri dengan bom yang melekat di tubuh mereka. Masing-masing memiliki peran, yakni meledakkan diri di tiga gereja berbeda di Surabaya. 

Ledakan lain menyusul di sebuah rusun di Sidoarjo. Bom milik Anton Ferdiantono meledak tanpa disengaja, menewaskan dirinya, istrinya, dan putrinya. 

Ledakan kembali terjadi di Polrestabes Surabaya. Tri Murtiono bersama istri dan dua putranya tewas bunuh diri dengan meledakkan bom yang mereka bawa. Ledakan itu melukai tiga polisi yang tengah berjaga, begitu juga dengan putri bungsu mereka-- yang ajaibnya-- selamat dari kejadian nahas itu. 

Dua keluarga ini punya tujuan yang tidak akan pernah bisa kamu mengerti. Ada sebuah pencapaian tertentu yang harus diraih, dan hal itu diagungkan oleh mereka.

Pedih. Anak-anak mereka tidak tahu apa-apa. Mungkin, mereka hanya diminta untuk percaya kepada orang tua. Anak-anak itu tak mau dicap sebagai anak durhaka. Tentu saja, setiap orang tua pasti memberikan yang terbaik untuk anak-anak mereka. Mungkin. 

Banyak hal yang berkecamuk di pikiran saya. Apa yang sebenarnya dikatakan orang tua anak-anak itu sampai mereka mau mengikhlaskan nyawa untuk sesuatu yang... Tidak pasti? 

"Nak, surga itu indah. Kamu bisa menemukan apa yang kamu inginkan di sana. Tuhan akan mengabulkan semua permintaanmu." 

"Nak, semua yang haram akan menjadi halal di surga. Simpan keinginanmu itu, Tuhan akan memberikan apa yang kamu inginkan sesampainya kamu di sana." 

"Nak, jika kamu mencintai orang tuamu, lakukan apa yang mereka pinta. Sembilan bulan ibumu mengandung dan membawamu kemana pun dia pergi tanpa mengeluh. Ibumu bertaruh dengan kematian hanya untuk melahirkanmu ke dunia. Dia memberimu susu, memandikanmu, dan menggendongmu agar tangismu berhenti. Dia memberikan hidupnya untukmu. Sekarang, saatnya kamu membalas kebaikan ibumu." 

"Anakku, Rasulullah SAW pernah ditanya, siapakah orang yang harus dihormati di dunia ini. Beliau menjawab, 'Ibumu, ibumu, ibumu, baru ayahmu'. Tunjukkan cinta dan kasih sayangmu pada ibumu, Nak. Dengarkan dia, turuti kemauannya. Jangan lukai hatinya. Lebih baik, kamu yang terluka." 

"Harta yang paling indah adalah keluarga. Hanya maut yang mampu memisahkan kita, anakku sayang."

Dan orang tua mereka menciptakan maut
sebelum Tuhan menuliskan takdir anak-anak mereka. 

Setiap keluarga memiliki pertimbangan masing-masing. Baik atau buruk, itu bukan urusanmu. Tapi, jika pertimbangan mereka memberikan dampak besar dan melibatkan nyawa, kamu dibebaskan untuk mengecam dan mengutuk keras apa yang mereka lakukan. Entah adil atau tidak, manusia bebas untuk berpendapat. 

Kesepakatan pun dicapai tanpa adanya intervensi. "Baik bagiku, tentu baik untuk orang lain." Para orang tua mempermudah jalan mereka untuk mencapai sebuah tujuan hidup yang sudah memanggil tanpa suara, mengajak serta buah hati mereka, dan mengembuskan napas terakhir bersama dalam keadaan yang mereka sebut dengan 'kedamaian'.

Saya tidak menganggap mereka sebagai manusia-manusia yang tak beriman. Iman tak hanya berhubungan dengan agama, tapi juga dengan batin. Pergolakan batin yang tak kunjung usai membuat mereka mengambil sebuah langkah. Sadar atau tidak, rasa percaya di dalam diri menguat dengan sendirinya. Lagi-lagi, seorang pemimpin tahu yang terbaik untuk para pengikutnya. Dalam kasus ini, kembali ke pangkuan Sang Khalik adalah pilihan terbaik. Toh, pada akhirnya, kita semua akan kembali pada-Nya. 

Manusia,
kuatkan imanmu.
Peluk tubuhmu erat-erat dengan kedua tanganmu.
Bicara padanya,
pahami fungsi setiap organ di dalamnya.

Pikiran memang tak berbatas, karena manusia menentukan jalan hidup mereka masing-masing. Tapi, jangan ambil atau hasut jiwa lain dengan embel-embel 'demi kehidupan yang lebih baik'. 

Jangan menyebar teror dengan harapan, manusia akan takut pada Yang Maha Kuasa. Ingat, Tuhan tidak mencipta dan menebar teror. Teroris juga tidak terafiliasi dengan agama atau etnis mana pun. 

Satu hal lagi. Jika saya adalah salah satu anak dari keluarga itu, mungkin saya akan terus membatin hal yang sama secara berulang kali. Membatin dengan air mata, rasa kecewa, tapi entah kemana saya harus berlari. 

"Untuk apa Ibunda mengandungku selama sembilan bulan, berjuang melewati kematian untuk melahirkanku, merawat dan mendidikku hingga aku menjadi seorang remaja yang tangguh, jika pada akhirnya, dia sendiri yang mengembalikanku pada Sang Pencipta?" 

Adikku, mungkin, ini adalah pesta, persembahan dari ayah dan ibumu untuk merayakan kepulanganmu ke pelukan Sang Esa.