Wednesday, March 9, 2016

Samasta.

Samasta bilang,
Aku harus membelah diri menjadi dua.
Untuknya,
Dan untuk mereka yang membutuhkanku.

Samasta bilang,
Aku tidak boleh pergi terlalu jauh darinya.
Alasannya,
Karena Samasta bisa mati kalau aku tidak ada di dekatnya.

Samasta bilang,
Aku harus menggunakan mata batinku,
Untuk melihat isi kepalanya.
Dan kutatap matanya dalam-dalam.

Kilauan kedua matanya mengecilkan hatiku.
Tatapannya bagai anak kecil yang ditinggal mati orang tuanya.
Wajahnya penuh harap,
Memintaku untuk bersatu dengan harapannya.

Tiba-tiba,
Ia menggenggam erat kedua tanganku. 
Samasta merintih,
Dan menangis pilu.

"Salahkah, aku?", tanyanya.
 Aku bergeming menatapnya.
Ia menjerit,
Seakan benda tajam sedang menyayat sekujur tubuhnya.

"Jangan pergi", pintanya.
 Wajahnya memohon,
Dan bibir bergetar seakan sedang berdoa tanpa suara.
Cintanya kepadaku, terlampau dalam.

Aku tidak tega,
Melihat lelaki seperti Samasta,
Meminta pengampunan dosa,
Dan dilumpuhkan oleh rasa.

Samasta memujaku seperti memuja berhala.
Ia membuang waktunya untuk aku yang sedang dalam keraguan.
Samasta kembali merintih,
Ia terlalu rapuh untuk menerima kenyataan yang ada.

Aku tidak bisa menjawab pertanyaannya.
 Tidak, aku tidak akan menjawabnya.
 Karena jika Tuhan menarik jiwaku lebih cepat,
Maka aku mengingkari janjiku.

No comments:

Post a Comment