Sunday, August 30, 2020

Sadino's Monologue #8



Cinta itu kompleks, El, dan manusia kerap menjadikan cinta sebagai senjata makan tuan.
Apa alasannya? 


Jujur, aku sebenarnya benci membicarakan cinta. Bagiku, cinta itu tabu, dan manusia kerap menjadikannya sebagai sebuah perdebatan. 

Manusia dan tabula rasa adalah sebuah kolaborasi yang konkret. Seorang bayi lahir membawa rasa, dan logika menyusul beberapa tahun kemudian. Rasa dan logika berada di dalam frekuensi yang sama. Apa sulitnya? 

Cinta itu terbagi dengan sendirinya, El. Kamu merasakannya, bukan? Tapi kenapa hal ini begitu rumit? Kenapa aku gagal untuk melakukan sinkronisasi? 

Dia, misalnya. Dia memilih untuk bersembunyi di balik egonya, membiarkan tubuhnya hanyut dalam kekalutan. Mulutnya ingin bicara, tapi rasa takut menguasai pikirannya. 

Dia memperlakukan dirinya dengan hati sekeras baja. Alasannya, timbal balik dalam kehidupan. Aku pikir, manusia hanya berpindah tempat, El. Manusia hanya bertukar posisi untuk mendapatkan pengalaman. Serupa, tapi tak sama. 

Apa sulitnya untuk jujur terhadap diri sendiri? Ya, ini masalah terbesarku, El. Dia juga. Apa salahnya meminta untuk dikasihi? Apa salahnya menyentuh tanpa mengharapkan imbalan? 

Teruslah memuja kemenangan atas diri sendiri. Karena hal itu tidak masuk akal, dan manusia menyukainya. Kadang, menjadi sosok yang idealis itu memang diperlukan. Tapi, sampai kapan? 

Modalnya hanya percaya, El. Manusia tidak perlu mengganti kerugian yang dibuat oleh orang lain. Tapi, kenapa manusia--dan aku tentunya-- memilih untuk bergantung dengan itu? 

Mungkin seorang Elohim tidak pernah merasakan peliknya sebuah kasus yang mengatasnamakan jiwa. Apa sulitnya untuk bertanya? Membuka aib yang menjadi problematik, 'kan, sah-sah saja. 

Mungkin manusia harus berhenti bercermin. Mungkin manusia harus berhenti menggugat satu sama lain. Aku memilih untuk menggantung harapanku, El. Aku muak dengan alibi tentang solidaritas. Haruskah aku merajah dia agar rahangnya bekerja? 

Aku ingin mendengar dia mendesah, El. Aku ingin dia menyebut namaku. Aku ingin batin kami menyatu, membentuk kisah yang baru, tanpa campur tangan imajinasi ataupun realitas. 

Sayang, dia memilih untuk bungkam, El. Dia memilih untuk menjahit lukanya sendiri saat tangan kami saling menggenggam. Dia ingin menyikapi hubungan ini dengan bijak. Tapi, hal itu berubah menjadi misi bunuh diri. 

Aku rasa, dia cukup pintar untuk berubah, El. Hanya saja, kenyataan merenggut kehidupannya dan membalutnya dengan kecemasan. Dan, aku tak punya otoritas untuk itu.

No comments:

Post a Comment