Wednesday, September 20, 2017

Tribuana Tunggadewi.

Kamu pikir,
Kita sedang berbagi luka?
Kamu pikir,
Aku menunggu kamu kembali?

Ya, kamu benar.
Aku ingin melihat kamu,
Meraung dan mengemis,
Menyebut namaku.

Tapi,
Aku bukan orang jahat.
Aku hanyalah lelaki yang berhenti berharap.
Aku adalah bayangan yang selama ini kau cari.

Aku ingin bertemu.
Agar kita saling menyakiti,
Agar pedihku jadi pedihmu,
Agar kita kembali jadi satu.

Aku ingin lihat,
Bagaimana sebuah rasa mampu memimpin ego,
Ego yang tak akan jinak,
Untuk kita yang sama-sama kecewa.

Aku adalah hantumu.
Atau sebaliknya?
Siapa yang salah?
Siapa yang akan mengalah?

Dengarkan aku,
Dengarkan hatiku yang angkuh.
Jangan datang jika tak akan kembali.
Jangan berani bertanya jika tujuanmu hanya air mata.

Sunday, September 17, 2017

Angkasa Jaya.

Andai kamu punya sayap,
Kamu pasti sudah pergi ke negeri seberang.
Andai aku punya sayap.
Aku pasti menyusulmu ke sana.

Ini mimpimu,
Mimpi seorang lelaki yang aku banggakan,
Bagian dari bahagiamu,
Dan juga bahagiaku.

"Ikut aku," katamu,
Seraya mengulurkan lengan kananmu,
Mencoba meraihku,
Yang memilih untuk diam di tempat.

Aku telah membayangkan,
Ratusan gedung pencakar langit,
Air sungai yang mengalir jernih,
Ragamu di sana.

Angin memanggilmu.
Membawa setiap memori di dalam kepalamu,
Pergi jauh,
Meninggalkan aku dan mereka yang hancur melihatmu.

Beri warna pada angkasa,
Kini kamu tiada tandingannya.
Sebut satu nama yang kamu genggam detik ini,
Karena di udara, kita berjaya.

Monday, September 11, 2017

Radityan.

Aku tak lagi mendengarmu di sini.
Aku tak lagi mendengar detak jantungmu,
Tak lagi mendengar deru napasmu.
Tubuhmu telah membisu.

Aku mencoba mereka ulang kisahmu.
Ketika kamu melukis sebuah cerita,
Ketika kamu berlari menuju senja,
Ketika anggota tubuhmu bergerak bebas dan bahagia.

Ini lebih baik.
Aku lelah,
Melihat tubuhmu diwarnai memar,
Melihat tubuhmu remuk tanpa disengaja.

Radityan,
Pria penuh ambisi,
Tak pernah lelah untuk tertawa,
Penuh cinta dan dicintai.

Terlalu baik,
Terlalu sabar,
Radityan tak ingin mengejar,
Namun waktu tidak berpihak padanya.

Aku akan membingkai mimpimu.
Aku akan simpan deritamu.
Aku akan menutup rapat ingatanmu.
Karena kamu hidup, untuk kembali.

Radityan,
Teruslah berlari hingga aku tak bisa mengejarmu.
Ikhlasku adalah rasa sayang yang akan selalu menemani.
Dan doa kami, selalu menyertai.

Selamat tidur, Radityan.

Saturday, September 9, 2017

Dursasana.

Singkat cerita,
Dursasana adalah seorang pendendam.
Alasannya, karena dunia butuh keadilan,
Karena manusia tidak pernah salah.

Ia terpaku pada sebuah aturan,
Yang dibuat untuk dihancurkan.
Dengan gelisah,
Ia menyebut nama-nama yang pernah membuka lukanya.

Dursasana mencoba mengingat,
Akan wajah Drupadi, cinta lamanya.
Akan wanita yang wajahnya dibalut cahaya,
Yang juga lambang kegembiraannya.

Mimpi.
Itu hanya mimpi.
Tidak mungkin ia jatuh cinta lagi.
Itu tidak adil.

Dursasana menolak lupa.
Bagaimana watak seorang raja.
Bagaimana rupa seorang ksatria.
Berdarah untuk mimpi, untuk kami.

Mereka yang berdiri di ujung senja,
Tak akan melupakan pahitnya sebuah zaman.
Berdiri angkuh menantang waktu,
Mengabadikan momen yang akan hilang terbawa arus.

Dursasana mengangguk pelan.
Ia berdecak, dan menutup kedua matanya.
"Untuk siapa kamu hidup?" tanyanya dalam hati.
"Kenapa kamu hidup?"

Dursasana membuka matanya.
Ia mereka ulang semua cerita,
Meninggalkannya tanpa suara,
Tanpa pertanyaan, tanpa jawaban.

Inilah air mata Dursasana,
Yang mencoba menembus batas namun tak bisa,
Yang ingin terus terjaga dari alam bawah sadarnya.
Dursasana yang berhasil lepas dari kebencian.

Sunday, September 3, 2017

Duryodhana.

Aku berjanji,
Untuk tidak melihat ke belakang lagi,
Untuk tidak meminta sesuatu yang bersifat tidak pasti,
Untuk tidak mematahkan mimpi seseorang.

Aku puas,
Akan sebuah derita,
Fakta akan sebuah mimpi,
Dan deru sakit hati.

Demi mata yang menatap dengan liar,
Demi napas yang tak beraturan,
Demi angan yang aku kubur hidup-hidup,
Demi kamu.

Seperti Duryodhana yang mendambakan dirinya sendiri,
Elegiku memecah heningnya sebuah kota,
Memandang rendah mereka yang meninggikan egonya,
Melumat asa dan rasa.

Seperti Duryodhana yang mengagungkan dirinya,
Aku pergi berperang,
Untuk senyawa, arti sebuah cerita,
Untuk waktu, tentang suara.