Monday, October 19, 2020

Sadino's Monologue #20


El, temani aku kembali ke bulan Juni 2017. 


Jam tanganku menunjukkan pukul 20.32. Bumi berputar terlalu cepat untuk dilanda kesunyian, dan aku tidak menyukainya. 

London juga merasakan hal yang sama. "Rumah ini perlu diberi suara," katanya. 

London mematikan rokoknya ke asbak dan berjalan menuju piano tua di sudut ruangan. London pernah bilang, itu sudut favoritnya karena dia bebas berlagu sesuka hati di sana. 

London duduk di atas kursi kayu di depan piano. Dia membuka penutupnya dengan perlahan, dan memperhatikan deretan tuts yang telah menunggu untuk disentuh. 

London berdecak. "Aku ingin memainkan instrumental favoritmu. Tapi, aku lupa." 

Aku berjalan mendekat dan memperhatikan kedua tangannya yang sudah mengepal. London kesal, karena dia benar-benar lupa. 

Pandangan London beralih padaku. Dahinya mengernyit, seakan minta pertolongan. 

"Kamu bisa mainkan lagu lain," kataku. 

London menggeleng. "Aku mau memainkan instrumental favoritmu, bukan yang lain." 

Ini kebiasaan buruk London. Untuk membuat orang-orang yang dia sayangi bahagia, dia nekat melakukan apa pun untuk mereka. 

"Satu menit," London mendekatkan telunjuknya pada wajahku. "Jika aku tetap tidak ingat, tampar aku." 

Aku mendengus. London mulai bersenandung sambil memejamkan kedua matanya, mencoba mengingat melodi yang hidup di alam bawah sadarnya. 

"Oke," London meletakkan jemarinya di atas tuts dan tersenyum lebar. "Untuk bahagiamu." 




Jemari London berhenti menyentuh tuts. Dia meletakkan kedua tangannya di atas pahanya, dan kedua matanya menatapku. 

"Aku harap kamu puas meski jemariku tidak lihai memainkannya," ucapnya. "Aku sering memainkan instrumental favoritmu saat aku sedang sendirian. Melodinya menenangkan, dan di waktu tertentu, dua menit yang kuhabiskan untuk menyelesaikan instrumental favoritmu ini berubah menjadi menyedihkan." 

"Menyedihkan, atau menyakitkan?" tanyaku. 

"Kamu mau yang menyakitkan?" London tersenyum tipis. "Versi lain dari lagu ini menurutku menyakitkan." 

Jemari London kembali menyentuh tuts piano. Kali ini, dia memainkan versi lain dari instrumental favoritku dengan jauh lebih fasih meski temponya jadi sedikit lebih cepat. 




London berkeringat saat dia menyelesaikan instrumental tersebut. London menyeka dahinya dan mendengus keras. 

"Ini lebih sulit. Aku harus mati rasa untuk memainkannya. Permainanku berantakan," kata London sambil menggelengkan kepalanya. 

Kedua alisku mengerut. "Kenapa harus mati rasa?" 

London kembali menatapku. "Karena manusia harus mematikan rasa untuk menghilangkan kebingungan. Setelahnya, logika bekerja sesuai dengan realitas. Dari situ, hal-hal yang sebelumnya tak kasat mata dapat terlihat. Bukankah begitu, Sadino?" 

Aku tidak menjawab dan hanya melempar senyum simpul. 

"Instrumental favoritmu ini adalah emosimu, bukan?" 

Ucapan London barusan membuatku jantungku berdegup kencang meski sesaat. 

"Musik adalah bagian dari rutinitasmu, dan instrumental favoritmu adalah bagian lain dari hidupmu yang tak pernah kamu buka. Yang aku mainkan tadi adalah ekspresimu dalam bentuk nada. Itu suaramu." 

Aku memilih untuk bungkam. Aku akui, pernyataan tersebut mengesankan. 

"Kamu pikir aku tidak mempelajari kamu, Sadino?" 

Mata kami beradu. Wajah London begitu yakin akan ucapannya barusan, seakan dia baru saja membawa pulang sebuah trofi yang terbuat dari emas. 

"Apa yang kamu dapat dari risetmu selama ini?" tanyaku. 

London menyeringai. "Kamu yang rapuh, kamu yang remuk." 

London berdiri dan menepuk kepalaku. "Kamu, yang harus aku jaga baik-baik."

No comments:

Post a Comment