Sebelas tahun lalu,
Eza berdiri di sana,
Menangis,
Menghancurkan hidupnya.
"Hidup aku berantakan, Sa."
Tarik napasmu,
Hembuskan perlahan.
Aku selalu percaya kamu bisa.
"Aku udah enggak bisa maju lagi, Sa."
Kami selalu percaya,
Kamu bukan mereka yang tak punya masa depan,
Dan harapan itu selalu aku genggam.
"Aku sakit. Badanku sakit semua, Sa."
Bertahanlah,
Bertahanlah sedikit lagi.
Sebentar lagi, kita akan melihat langit.
"Aku udah enggak bisa lihat apa-apa, Sa."
Jangan buat aku ragu akan kehadiran Tuhan.
Jangan buat aku berhenti berdoa.
Jangan buat aku ikhlas.
"Aku capek, Sa. Aku mau pulang."
Jangan berjalan ke sana,
Jangan melihat ke sana.
Pulanglah ke sini, ke pelukanku.
"Maafin aku, Sa."
Aku tidak ingin memaafkan sebelum kamu berjuang.
Pacu jantungmu,
Aku mohon, bertahanlah.
Dan aku mengalah pada takdir.
Terluka, dan menyerah.
Di usia 21 tahun,
Tuhan mengambil Eza dari pelukanku.
Sulit,
Karena dia tak mau mengerti.
Sulit,
Karena dia menolak untuk mendengar.
Keinginannya sudah salah sejak awal.
Keputusannya telah menggerogoti tubuhnya,
Dia kehabisan waktu,
Mempermudah mimpinya menjadi sebuah fatamorgana.
Eza, ini aku.
Perempuan yang kamu tampar berulang kali,
Perempuan yang kamu peluk kakinya saat tubuhmu gemetar,
Perempuan yang kamu hancurkan doanya saat dia memintamu untuk bertahan.
Maaf,
Karena aku lupa.
Maaf,
Karena ternyata, aku masih terluka.