Tuesday, August 11, 2020

Aku dan Bayangan Tentang Jonghyun

Jakarta. 19 Desember 2017




Kepergian seseorang akan memberikan dampak yang besar bagi lingkungannya.
Hal itu bersifat pasti, dan sudah jelas terbukti. 

Kim Jonghyun. Salah satu anggota grup musik K-Pop bernama SHINee. Usianya masih 27 tahun. Di usianya yang masih sangat muda, Jonghyun memilih untuk menghilangkan penatnya dengan caranya sendiri. Untuk selama-lamanya. 

Jonghyun adalah seorang idola. Sembilan tahun ia berkarier bersama SHINee, hingga namanya diagungkan oleh para perempuan dari berbagai belahan dunia. 

Sekilas, Jonghyun memiliki apa yang orang-orang inginkan; ketenaran, skill, cinta, harta, dan kebahagiaan. Ingat, sekilas. 

Tidak hanya Jonghyun, tapi aku bisa melihat proses di balik pencapaiannya untuk mendapatkan semua itu. Darah dan keringat bercampur menjadi satu, mengalir dari ujung kepala hingga ke ujung kakinya, di saat otot-otot tubuhnya dipaksa bekerja untuk mendapatkan gelar sebagai seorang idola. 

Aku mengerti bahwa jalan ini telah dipilih oleh Jonghyun. Dengan niat dan keikhlasan hati, Jonghyun memilih untuk menantang diri dan nyalinya, karena baginya, manusia tak punya batasan untuk apa yang mereka inginkan. 

Aku paham, Jonghyun pasti mengerti maksud dari kalimat 'no pain, no gain' dan 'hard work pays off'. Dia terus menggenggam makna dari kedua kalimat itu. Dia menyemayamkannya di dalam dadanya. Jonghyun tahu apa yang dia mau. 

Hingga akhirnya, SHINee melakukan debutnya pada Mei 2008 lewat EP berjudul "Replay". Dunia mendadak gila, karena semua penikmat musik K-Pop seakan berkiblat kepada SHINee. 

Album-album SHINee pun menghiasi industri musik K-Pop sekaligus menjadi penanda bahwa pamor SHINee seakan tak akan pernah turun dari singgasananya di puncak bukit. SM Entertainment, agensi tempat SHINee bernaung, pun melihat peluang lain untuk hal ini; masing-masing anggota SHINee adalah 'dagangan' yang menggiurkan. 

Hal itu terbukti, karena Onew, Taemin, Key, Minho, dan juga Jonghyun ternyata berpotensi untuk menjadi lebih dari sekadar idola. Masing-masing dari mereka memiliki talenta, dan berbagai kegiatan yang mampu mendongkrak popularitas mereka pun mulai diperhitungkan. 

Pada Januari 2015, Jonghyun merilis EP perdananya yang bertajuk "Base". Lagi-lagi, bisnis yang tengah dijalani SM Entertainment kembali menuai keuntungan. "Base" laku keras di pasaran hingga membawa pulang penghargaan Disk Bonsang dari ajang Golden Disk Awards 2016. 

Jika pada saat itu aku berada di posisi Jonghyun, tentu aku akan merasa puas. Karierku sebagai solois sukses. Aku memenangi sebuah penghargaan dan seluruh mata tertuju padaku. Karyaku diakui para penikmat K-Pop, dan kerja kerasku membuahkan hasil. 

Tak puas, Jonghyun merilis album penuh pertamanya di tahun 2016, "She Is". Karyanya yang satu ini kembali menuai kesuksesan, dan Jonghyun kembali menundukkan industri K-Pop dengan musiknya. 

Mendadak, aku teringat akan Michael Jackson. Idolaku yang satu ini selalu menelurkan karya yang membuat orang-orang berdecak kagum. Bahkan, begitu mudahnya Michael melahirkan lagu-lagu yang membuat orang tak pernah berhenti untuk menyanyikannya, seakan dia memang dilahirkan untuk menjadi seorang bintang. 

Tapi, Michael kesepian. Dia kerap mengungkap keadaannya yang sebenarnya di balik cahaya panggung yang menyorotnya tanpa henti. Dia kesepian. Dia lelah. Tapi,  itu semua adalah jalan yang dia ambil, dan dia menerima segala konsekuensinya. 

Aku tidak bisa membayangkan bagaimana seorang Michael Jackson yang terlihat selalu menebar senyum kepada semua orang yang menyapanya, hidup dalam kesendirian. Meski dia hidup bergelimang harta dan perempuan tergila-gila padanya, dia tetap merasa kesepian. Pada akhirnya, musik adalah sahabat terbaiknya. Sebuah pelipur lara, dan bentuk bahagianya. 

Ini yang mungkin dirasakan oleh Jonghyun. Musik adalah hidupnya, dan bekerja keras untuk menjadi idola yang lebih baik adalah tujuan hidupnya. Musik adalah bukti bahwa dirinya berbakat. Musik adalah bentuk cintanya pada dirinya sendiri. 

Tapi, Jonghyun sendirian. Saat tak ada musik yang terdengar, Jonghyun mungkin merasa bahwa dia sedang berada di sebuah ruangan kecil tanpa cahaya. Mungkin, dia menolak untuk menerima kenyataan bahwa tanpa musik, jantungnya akan berhenti berdetak. 

Jonghyun terus memacu dirinya. Masih berpegang teguh dengan kalimat 'manusia hidup tanpa batas', Jonghyun memaksa tubuhnya untuk bergerak, untuk berkeringat, untuk berdarah. Semua demi kecintaannya pada musik. 

Hingga akhirnya, realitas memeluknya dengan paksa, membuka kedua matanya, dan menyadarkan bahwa paru-parunya tak sanggup lagi bekerja. Dia lelah, dan secara perlahan, dia merasa seperti menghilang. Apa yang sebenarnya dia cari? Apa itu bahagia? Apa yang sedang aku lakukan? 

Konsepsi individu tentang dirinya sendiri pun perlahan muncul. Egonya itu menusuk tubuhnya dengan perlahan, membangunkan sebuah rasa yang selama ini dia pendam; amarah dan kekecewaan. Lagi-lagi, Jonghyun hilang di dalam pikirannya sendiri. Inikah yang aku inginkan? 

Tekanan demi tekanan menyerang Jonghyun tanpa henti. Dia dipaksa untuk kembali melewati batas oleh egonya, tapi mentalnya tak sanggup menyebrang. Jonghyun berkutat dengan dirinya; menyalahkan dunia dan mimpinya yang dulu menjadi semangatnya. 

Jonghyun berusaha melarikan diri dari kenyataan. Namun, rasa tidak pernah puas yang ada dalam setiap diri manusia menariknya ke belakang. Jonghyun dipermainkan oleh dirinya sendiri. Jonghyun dikhianati oleh pencapaiannya selama ini. 

Andai aku bisa meraihnya saat itu, mungkin aku bisa membantu Jonghyun untuk mengembalikan sosoknya yang dulu. Aku rasa, hal ini juga dirasakan oleh mereka yang mencintai Jonghyun. Mereka yang ingin menyelamatkan Jonghyun dari bahaya yang telah mengincarnya sejak dulu. Mereka yang ingin memeluk Jonghyun untuk memberinya ketenangan. 

Tapi, haram hukumnya bagi seorang idola untuk terlihat lemah dan sedih di hadapan orang-orang yang mencintainya. Jonghyun terus memberikan kekuatannya pada orang-orang di sekitarnya, padahal dia sendiri butuh pertolongan. 

Konsep 'bahagia saja duluan, aku belakangan' pun diusung Jonghyun. Semua demi cinta yang menghujaninya selama ini. Ratusan ribu dukungan yang diterima Jonghyun tidak akan bisa dia balas dengan apapun. Maka dari itu, Jonghyun memilih untuk berkubang dengan ketakutannya demi membahagiakan orang lain. 

Terlalu lama. Terlalu menyakitkan. Terlalu menyedihkan. 

"Aku kesakitan," kata Jonghyun. "Berhenti menyakitiku." 

"Aku lelah," bisiknya pada dirinya sendiri. "Aku sudah tak ingin lagi berlari mengejar sesuatu yang fana." 

"Relakan aku," pikirnya dalam hati. "Biarkan aku tidur. Sebentar saja." 

Dalam hitungan menit, gas monoksida memenuhi paru-parunya. Sengal, sesak. 

"Aku yakin aku bisa," kalimat tersebut terus berputar di pikiran Jonghyun. "Aku mencintai hidupku, sebagaimana kamu mencintai hidupmu." 

Aku akan terlahir kembali, untuk bahagiamu. 

Dan seluruh media di Korea Selatan memberitakan bahwa Jonghyun telah berhenti bernapas saat dia sedang dalam perjalan ke rumah sakit. Sang bintang tak lagi bersinar. Dia memilih untuk hidup dalam kebahagiaan yang ia buat sendiri. 

Sejenak, aku merasa seperti melihat bayangan Jonghyun. Jonghyun yang sedang menari--tidak, tidak-- Jonghyun yang sedang menari dalam kerasahannya. Jonghyun yang sedang bermimpi, mempersilakan matahari pagi menyinari wajahnya. Jonghyun yang kuat, Jonghyun yang hebat. 



Jonghyun yang meminta agar keputusannya ini dihargai. 



괜찮아요 ... Jonghyun.

No comments:

Post a Comment