Saturday, January 16, 2021

Sadino's Monologue #27



"Kuatkan hatimu. Dengarkan semesta. Dengarkan kami." 


Aku sadar bahwa aku tidak bisa menembus batas yang dibuat orang itu. Aku sadar bahwa aku terus bicara dengan diriku sendiri di depan cermin, mempertanyakan aku dan kamu yang tidak akan pernah satu. 

Duniamu dan aku berbeda. Ada pagar yang tidak bisa aku lompati. Ada semak berduri yang tidak bisa aku lewati. Tapi, aku bisa berjalan di dalam pikiranmu kapan saja aku mau. Kamu mempersilakan aku. Kamu menyapaku tepat di belakang batas yang kamu buat. 

Untuk apa kamu menyegel sebuah mimpi? Untuk apa kamu merelakan sebuah memori? Kamu meminjam tanganku untuk membasuh wajah dan lukamu waktu itu. Untuk apa? 

Kamu merasa terkunci, terikat dengan ucapan orang-orang yang berpeluh demi menjadikanmu seperti ini. Kamu membentengi dirimu sendiri dengan harapan yang sebenarnya tidak nyata. Kamu bersimpuh semalaman untuk meyakinkan dirimu bahwa ini pilihanmu. 

Seperti apa rasanya terbentur ratusan kali di tempat yang sama? Seperti apa rasanya menghalau rasa yang terus menghantui? Ingat, kamu tidak mencintai mereka. Kamu hanya menjadikan mereka berhala. 

Jangan terpatri dengan loyalitas. Beri napas logikamu, biarkan dia hidup seperti kamu. Andai kesetaraan adalah bagian dari iman, semesta berada di dalam genggamanmu sekarang. 

Kamu datang meminta bantuan, dan aku menyanggupi. Kamu singgah untuk sementara, memperlihatkanku bagaimana caramu mengusir maut, dan pergi diiringi lantunan doaku. 

Ini hidupmu. Seperti padang pasir yang mendesir, seperti laut tak bertuan, seperti air mata yang menetes tanpa alasan. Dan hidupku tidak di sana. Jiwaku berpagut pada tubuh yang terluka, bukan di sana. 

Aku tidak memintamu kembali. Aku tidak mau menyaksikan duniamu yang luluh lantak. Aku tidak mau berjalan dengan kamu yang ketakutan. Mungkin lain kali. 

Karena bagaimana pun juga, aku tidak bisa melewati batas itu. Meski kamu memaksa, aku akan jatuh dengan sendiri. Meski kamu menyeretku untuk bernapas bersama, aku hanya akan menghirup asap. 

Langit mulai merekah, memerah menyampaikan isyarat. Aku berdiri di sini dan kamu di sana. Aku baal. Kamu pun demikian.