Sunday, October 18, 2020

Sadino's Monologue #17


El, aku akan mengajakmu berjalan-jalan sebentar. Mau, ya? 


Angin dingin pada malam itu tidak menghentikanku untuk pulang ke rumah. Hujan terus turun seakan tak mengenal waktu, membasahi bumi, dan pikiran mereka yang sedang bermimpi. 

Bukan main bahagianya aku ketika aku melihat London berdiri di ambang pintu. Dengan kedua tangan terlipat di depan dadanya, London tersenyum tanpa suara, menyambutku yang sudah tidak sabar untuk segera didekapnya. 

Ujung bibirku bergerak dan aku sadar aku sedang membalas senyumnya. Dengan cepat, aku membuka pintu pagar rumahku, menutupnya, dan menghampiri London. 

Sebatang rokok terselip di antara telunjuk dan jari tengah tangan kanannya. London menundukkan kepalanya agar bisa melihatku yang tengah semringah dengan jelas. Bola matanya yang hitam seakan berbinar di mataku. 

Aku seperti anak kecil yang baru saja pulang sekolah dan sudah tidak sabar untuk segera bertemu dengan ibuku, kala itu. Kedua tanganku menggenggam erat tali tas yang melingkar di bahuku, mencoba meringankan beban di punggungku yang sudah aku pikul sejak satu jam yang lalu. 

Bibirku bergerak untuk menyapa London, tapi dia memotongku. 

"Aku pergi akhir pekan ini." 


Mata kami saling menatap. Mulutku terbuka, tapi tidak ada kata yang keluar. Aku mendadak bisu. 

London masih menatapku tanpa suara. Dia masih tersenyum, seakan apa yang ia ucapkan barusan bukanlah hal yang penting. Dia terlihat tenang, seperti London yang tak punya beban. 

"Biasanya, emosimu langsung memuncak saat mendengar hal-hal yang tidak ingin kamu dengar," London menyindirku. Suaranya masih terdengar tenang seperti biasanya. 

Aku sadar kedua mataku terus bergerak ke kanan dan ke kiri. Aku menundukkan wajahku dengan cepat, dan kini kedua mataku menatap lantai tempatku berpijak. Aku perhatikan sepatu putihku yang kotor. Aku pikir, aku harus mencucinya. Tapi, pikiranku kosong, entah apa yang aku pikirkan. 

Mendadak, aku mati rasa. Seperti terkena serangan jantung secara mendadak, jantungku seperti diremas dan dirobek di saat yang bersamaan. Pedih, tapi tak berdarah. 

Hening. Kami tak bersuara. Angin menerpa tubuhku, entah itu sindiran atau bukan. Mungkin, angin mengisyaratkanku untuk segera menjawab pertanyaan London. Tapi, aku tidak punya jawaban. Mendadak, aku buta aksara. 

Aku tidak tahu apakah London masih menatapku atau tidak. Dia tidak bergerak, dan tubuhnya masih bersandar pada pintu. 

"Yang rapuh itu bukan cuma kamu." 

London berjongkok. Kepala menengadah melihatku. London masih tersenyum, tapi air matanya telah membasahi pipinya. 

"Hatiku, pikiranku, dan tubuhku, ternyata jauh lebih rapuh dari kamu."


Air mata London bergerak turun ke dagunya, seakan berlomba, siapa yang akan membentur tanah terlebih dahulu. London terlihat berusaha tenang. Dia berulang kali mengatur napasnya. Tapi, kekecewaan dan kesedihannya meronta ingin diperlihatkan. Dia tidak bisa menahannya, dan pada akhirnya, London membebaskan mereka. 

Tangan kananku bergerak. Jemariku kini menyentuh rambutnya yang acak-acakan, mencoba merapikannya, tapi percuma. Aku menelan ludah dan menarik napas panjang, mencoba menjinakkan emosiku yang sudah tidak karuan. 

Ternyata, aku tidak bisa. Aku menyerah. Wajah kami sama-sama basah sekarang. 

"Setelah bertahun-tahun lamanya, aku menemuimu hanya untuk berpisah denganmu,"
kata London. 

"Selama ini, waktu yang aku buang untuk kamu ternyata masih belum cukup.
Ternyata, aku masih rindu." 


Aku menarik tanganku yang telah mengepal. Kedua tanganku sekarang saling menggenggam. 

"Mungkin aku dikutuk.
Karena di saat aku menatapmu seperti ini, aku masih merindukan kamu."
 

"Aku ingin tidur, London," ucapku tiba-tiba. "Aku lelah."

"Silakan, kalau kamu bisa," London berdiri dan meregangkan tubuhnya. "Tapi janji, hari ini kamu bisa tidur pulas." 

Aku tidak menjawab dan kembali menelan ludah. Aku benar-benar kehabisan kata-kata. 

"Aku tidak perlu jawaban dari kamu, Sadino," London menjawab pertanyaan di pikiranku. "Aku hanya butuh kamu. Kamu yang kuat, kamu yang mandiri." 

London mempersilakanku masuk ke dalam rumah, seakan-akan ini adalah rumahnya. Aku berjalan masuk, menaruh tasku di sofa, melepas jaketku, dan melemparnya ke sebelah tasku. 

"Tunggu. Aku punya pertanyaan dan aku perlu jawabannya," kata London sambil menutup pintu. 

Aku menatapnya dengan kedua alis terangkat. London bersandar pada pintu yang barusan dia tutup dan kembali melipat kedua tangannya di depan dadanya. 


"Kenapa Sadino yang biasanya acuh tak acuh pada London,
berdarah lebih cepat saat London mengucapkan selamat tinggal?"

No comments:

Post a Comment