Sunday, October 25, 2020

Sadino's Monologue #22



Keadaanku terdesak, El. Pembuluh darahku mengeras. Aku bisa merasakannya. 

Mimpiku seakan binasa tanpa tahu apa penyebabnya. Air mataku keruh, bibirku berdarah, mulutku menolak untuk bicara. 

Mungkin, ini aku yang mati rasa. Kelihatannya, aku terlalu sering digempur bayangan masa lalu yang seharusnya sudah musnah. Tidak, aku hanya mengubur mereka hidup-hidup. 

Dunia terlalu berisik untukku saat ini. Rasanya ingin sekali aku menebas kepala mereka yang banyak bicara. Sumpah serapah, adu mulut yang sebenarnya omong kosong, fitnah untuk kebaikan seseorang... Sungguh melelahkan. 

El, apa yang aku lakukan hingga menit ini? Aku pernah menyakiti hati seseorang. Aku pernah berbohong pada seseorang. Aku pernah meninggalkan seseorang. Semua orang melakukannya, dan mereka juga pernah melakukan hal itu padaku. 

Mungkin, aku sendiri yang memulainya. Mungkin saat itu, perasaanku sedang berserakan. Mungkin juga, aku mendengar sesuatu yang seharusnya tidak aku lihat. 

Kamu benar, El. Aku sedang ingin berkawan dengan bayanganku sendiri. Aku sedang ingin menjadi saksi biksu kehancuran manusia. Ya, ini aku yang intuitif.  

Setiap malam, aku merasa tubuhku remuk dengan sendirinya. Aku seperti mendapat pukulan teruk dari belasan orang yang melampiaskan amarah dengan sengaja. 

Awalnya, aku tidak mempermasalahkannya. Aku mencoba untuk menerima. Tubuh ini hanyalah wadah untuk menampung luka, untuk saling membenci, dan dikorbankan hal-hal yang tidak pasti. 

Apa yang telah aku lakukan?
Kenapa aku ada di sini bersamamu, El?
Kenapa langit tiba-tiba memerah?
Kenapa ada senja?
Kenapa ada samudra?
Kenapa harus kita?
Kenapa harus aku? 


Dunia tidak terbalik. Hidup ini sudah sebagaimana mestinya. Mungkin, aku terlalu angkuh. Mungkin juga, aku terlalu merendah hingga bersatu dengan tanah yang mereka pijak. 
Mungkin, ini egoku yang tak terlahir kembali.

No comments:

Post a Comment