Friday, October 16, 2020

Sadino's Monologue #12


Mataku lelah, El. Pikiranku juga.
Ini yang dinamakan sebagai "hadiah dari Yang Kuasa?" 

Bukannya aku tidak bersyukur, El. Aku sudah melewati fase itu, dan aku sudah bisa menerima bahwa aku berbeda dengan mereka. Aku bisa melihat warna yang tidak dilihat orang-orang, dan aku terima itu. 

Sebenarnya, aku tidak ingin mengumbar hal ini, El. Hanya saja, aku muak dijadikan berhala oleh mereka yang tak tahu diri. Ada beberapa hal yang tidak bisa diartikan oleh manusia, dan sebagai raga yang hidup, kita harus menerimanya. Itu riil. 

Jangan menjadi seorang manusia yang bodoh dengan hanya memikirkan diri sendiri. Jika sudah bertemu jalan buntu, manusia menyebutnya dengan "takdir". Apa salahnya untuk berjalan mundur atau menoleh ke belakang, daripada duduk termenung menunggu bantuan? 

Manusia itu tidak pernah salah. Kami selalu benar. Asal, manusia mau mengesampingkan dogma. Tapi, dogma lahir dari persepsi manusia akan kehancuran dunia. Untuk terhindari dari ketakutan itu, lahir sebuah norma sebagai panduan untuk menjadi "manusia yang baik". 

Tapi, manusia itu tamak. Mereka ingin mendahului waktu. Mereka ingin tahu seperti apa masa depan mereka nanti. Mereka ingin tahu rahasia orang lain. Mereka gemar mencongkel keburukan orang lain, dan aku muak dengan itu, El. 

Akhir-akhir ini, aku kesulitan untuk mengontrol keinginanku untuk bertanya. Aku tidak berniat membantu, melainkan penasaran-- kenapa mereka mempersulit keadaan dengan memikirkan hal-hal di luar realitas? Secara tidak langsung, mereka adalah kaum radikal. Tapi--tentu saja--hal itu tidak akan pernah mereka akui. 

Sekalinya aku bertanya, aku digempur dengan pertanyaan lain yang kadang menghancurkan sistem kerja otakku. Dalam waktu singkat, mereka berubah menjadi pengikut paham nihilisme. Aku tidak melarang dan tidak menyalahkan. Tapi, kenapa aku? 

Karena aku bertanya kepada mereka, El? Aku hanya membimbing mereka untuk menemukan solusi. Aku hanya mengajak mereka berputar-putar di tempat yang sama, hingga jawaban yang mereka harapkan muncul di dalam pikiran mereka sendiri. 

Garis bawahi itu, El. Aku tidak memberi mereka solusi, melainkan mengantar mereka ke pintu keluar dengan usaha mereka sendiri. 

Untuk beberapa orang, aku tidak mempermasalahkan hal itu. Tapi, sisanya, mereka tahu apa? Mereka tidak mengenalku, mereka tidak berhasil menembus garis pertahananku. Aku sangat selektif, El. Bukan berarti aku pilih-pilih orang dan tak mau berhubungan dengan mereka, tapi aku tidak mau dibutakan dengan rasa peduli yang mengatasnamakan loyalitas. 

Aku hanya berbagi dengan beberapa orang soal ini, Elohim. Kamu pasti paham. Aku tidak mau terkontaminasi racun yang tidak mengandung moralitas. Aku melakukan ini demi kebaikanku sendiri. 

Kenapa manusia mudah percaya dengan hal-hal yang menjanjikan? Padahal, mereka mudah untuk mengingkari sebuah janji. Rasanya, aku seperti sedang berkubang dalam kolam darah dari sebuah pembunuhan massal. Ini pembohongan publik, namanya. 

Otak dan mataku tidak pernah berhenti bekerja, El. Aku ingin istirahat, pergi jauh dari hingar-bingar kota yang penuh polusi dan sakit hati. Tempatku lahir adalah kota yang marah, dengan penduduknya yang gemar menghabiskan waktu demi mendapatkan kebahagian dengan menghalalkan segala cara. 

El, kamu pasti sedang berpikir kenapa pembicaraanku tiba-tiba meluas dengan sendirinya. Kamu pasti sadar, semua itu berkaitan dan efeknya cukup besar dan sensitif. Aku berada di tengah-tengahnya, berusaha menyelamatkan diri dari peluru-peluru yang ditembakkan secara asal. 

Aku butuh bantuanmu, El. Kamu mentorku. Lindungi aku dari mulut-mulut yang saling beradu. Selamatkan "hadiah dari Yang Maha Agung" yang bersemayam cukup lama di dalam diriku. Genggam jiwaku, dengarkan batinku. 

Tidak, El. Aku tidak akan meminta agar "hadiah" ini dikembalikan. Aku terpilih untuk menjadi saksi bisu akan indah dan kejamnya kehidupan, dan aku mensyukuri hal itu. Hanya saja, bumi berotasi, begitu juga mereka yang berpijak di sana. Dalam satu tarikan napas, aku sudah bisa menerka, apa arti dari sebuah kehancuran yang sebenarnya. 

Izinkan aku melebur untukmu, El. Aku meminta untuk dituntun. Karena hanya kamu yang mengerti aku.

No comments:

Post a Comment