Monday, October 19, 2020

Sadino's Monologue #19


El, Londonku pamit. Dia sudah pergi. 

Malam itu, aku pulang cepat. Aku ingin menemui Londonku. Aku sudah tidak sabar. Aku ingin menyentuhnya, aku ingin memeluknya, aku ingin bicara panjang lebar dengannya. 

London berdiri di ambang pintu saat aku tiba di rumah. Dia menyambutku dengan senyuman dan membukakan pagar rumah untukku. Padahal sebelumnya, ketika aku pulang, London hanya duduk manis di depan laptop-nya sambil merokok. 

"Pulang, yuk?" London mengajakku untuk menyambangi rumahnya. Jam sudah menunjukkan pukul 00.12 malam. 

"Aku pikir kamu sudah di rumah," jawabku sambil menaruh tas di atas sofa. 

"Aku tahu rumahku di sana," London menunjuk dadaku dengan dagunya. "Tapi aku harus pulang ke rumah." 

Aku paham, El. London ingin menghabiskan waktu yang tersisa dengan keluarganya dan aku tidak melarangnya. 

"Aku pikir, aku di sini saja. Besok pagi aku ke rumahmu," kataku. 

"Rumahmu di sini," London menunjuk dadanya. "Aku bisa merasakan napasmu di sini." 

***
 

London memutuskan untuk tidak pulang dulu. Kami berbincang dan tertawa hingga pukul 03.00 pagi. 

"Kelihatannya aku benar-benar harus pulang," London berdiri dan meregangkan tubuhnya. "Sampai bertemu di rumah keduamu, manis." 

*** 

Perbincanganku dengan ibunya London sangat menyenangkan pagi itu. Wanita cantik itu bernama Elinda, berjiwa muda, dan selalu memakai jam tangan meski di rumah saja. Sejak dulu, dia selalu memanggilku dengan sebutan 'Chacha', entah apa alasannya. 

"Cha, nanti kita nyusulin London aja. Kita temenin dia, minta ditraktir di Harrods," katanya. 

Aku hanya tersenyum hampa. Entah kenapa aku enggan untuk menyusul London ke luar negeri. 

Mataku beralih pada London yang sedang sibuk memainkan ponsel pintarnya. Pagi itu, London mengenakan parka hijau army, kaus hitam panjang, skinny jeans hitam yang robek di bagian dengkul, dan sepatu Nike Air Force One putih favoritnya. 

Di sampingnya, terdapat empat koper dengan warna yang berbeda-beda. Yang paling besar berwarna biru tua, dan London bilang isinya adalah sepatu-sepatu kesayangannya. 

"Kamu tidak membawa buku-buku harianmu?" tanyaku. 

London menggeleng. "Jaga mereka untuk aku, ya." 

London mendengus dan menatapku. "Aku mau bicara. Mam, Chacha aku pinjam dulu sebentar." 

Tante Elinda menepuk bahuku dan mempersilakanku untuk mengikuti London ke lantai dua, ke kamarnya. 

London membuka pintu kamarnya dan menyuruhku untuk duduk di atas tempat tidurnya. London duduk di sebelahku, dan kami pun saling memandang. 

London diam seribu bahasa. Dia menatapku, tapi tatapannya kosong. Pikirannya berkecamuk seraya mencari kalimat yang tepat dan pantas untuk diucapkan padaku. 

"Kamu harus senang karena kamu mendapatkan hidupmu kembali sekarang," kata London. "Kamu tidak punya alasan lagi untuk pulang cepat dan memikirkan orang lain yang sedang menantimu di rumah." 

Aku tidak menjawab. Aku pikir, ada baiknya aku menikmati drama yang sedang dipentaskan London. 

"Aku tidak akan bicara banyak. Aku juga tidak akan menyakitimu dengan kata-kata. Keadaanmu sekarang sedang membunuhmu pelan-pelan. Aku tidak mau menambah masalah." 

London mendengus. "Ini urusanku. Ini perasaanku, dan bukan urusanmu. Tapi perasaanmu, adalah urusanku. Aku hanya ingin kamu bahagia, dan aku tahu kamu punya cara untuk berbahagia. Aku tidak tahu bagaimana kamu melakukannya. Demi Tuhan aku ingin tahu. Tapi kamu, dan rahasiamu itu, tidak akan aku ganggu gugat." 

London memamerkan telapak tangannya di depan wajahku. "Bahagiamu, kesedihanmu, kekecewaanmu, amarahmu, lukamu, di sini," dan London mengepalkan tangannya. "Di dalam genggamanku, dan aku menyimpannya untuk dijaga." 

London mendengus untuk yang kedua kalinya. "Teruslah menjadi Sadino yang seperti biasanya. Sadino yang sok kuat, yang banyak tingkah, yang mahir menyembunyikan perasaannya. Kamu tidak sehebat itu, tapi kamu cukup pintar untuk melakukannya. Aku kagum." 

"Aku sayang sama kamu," jawabku tanpa memikirkan efek dari kalimat barusan. 

London terdiam. Kedua matanya menatap kosong lantai yang terbuat dari kayu. Ia mendongak, memandang pintu kamarnya yang terbuka lebar, dan berdecak. 

"Terima kasih telah menjawab rasa penasaranku selama belasan tahun ini, Sadino." 

***
 

"Kamu benar tidak mau ikut ke bandara?" 

Ucapan Tante Elinda seakan memohon. Tujuannya, agar kondisi putranya tetap stabil. 

Aku menggeleng. "Tidak, Tante. Nanti aku pesan Uber setelah kalian pergi." 

London menepuk bahu ibunya, mengisyaratkan untuk segera masuk ke dalam mobil. 

Hatiku hancur. Melepas kepergian seseorang yang ingin menggapai mimpinya seperti merelakan diriku untuk berhenti merokok. Padahal, berhenti mengisap racun berupa asap baik untuk kesehatan. 

"Aku pergi," London menepuk-nepuk kepalaku. "Jangan rindu." 

Aku berdecak dan menunduk. Ini berat. 

"Heh," London menyentil dahiku. "Jangan begitu." 

London menghempaskan dadanya pada wajahku. Wangi tubuhnya benar-benar menyebalkan. 

London menundukkan kepalanya, mendekatkan bibirnya pada telingaku dan membisikkan sebuah kalimat pemungkas. 

"Aku lebih hancur dari kamu."


London mengecup pipiku dan melepaskan pelukannya. Dia kembali menunduk dan menatapku, menyisakan jarak dua jengkal di antara kami. 

"Sampai kapan pun, kamu tetap si cantik punyaku," bisiknya. "Aku meninggalkan sesuatu di ponsel pintarmu. Tolong dicari." 

London berbalik dan berjalan menuju mobil. Tanpa menoleh ke belakang, London masuk ke dalam mobil dan menutupnya dengan kencang. Aku melambai pada mobil yang perlahan bergerak maju, dan tetap berdiri di tempat hingga mobil SUV yang dikendarai ayahnya menghilang dari pandangan. 

Aku menarik napas panjang. Tanganku bergerak mencari bungkus rokok di saku celanaku. Aku mengambil sebatang rokok, dan membakarnya dengan tangan yang gemetar. 

Asap putih menyembur dari mulutku. Aku berdecak, seraya menyiapkan mentalku untuk berdamai dengan kekecewaan yang baru saja terjadi. Aku tidak siap, tapi London memaksaku untuk menerima pahitnya ucapan selamat tinggal. 


Bajingan kamu, London. Bajingan.

No comments:

Post a Comment