Monday, February 8, 2021

Sadino's Monologue #29



El, kenapa manusia gemar berkawan dengan kenyinyiran? 


Apa sulitnya untuk bicara langsung pada manusia yang kau benci? Apa sulitnya untuk mengungkapkan rasa yang nyaris meledak di dalam dada pada manusia yang ingin kau hancurkan? 

Kadang, aku merasa tidak adil jika manusia menyerang manusia lain saat mereka lengah. Atau, di saat mereka tidur, manusia dijadikan mangsa. 

Sesungguhnya, manusia memang tak berdaya. Untuk terlihat kuat, manusia menjatuhkan kaumnya sendiri. Mereka menghina saudara mereka sendiri. Mereka disebut tak layak, tak punya masa depan, dan pasif. 

Semua orang mengalaminya, El. Anehnya, mereka menyebut diri mereka intelek dan merasa menjalankan tugas mereka sesuai dengan permintaan Yang Kuasa. Saat Yang Kuasa bersinar, mereka melahirkan kegelapan dan memaksa orang-orang untuk berdiri di dalamnya. 

Elleni, misalnya. Dia bercermin untuk bersolek tanpa melihat keburukan dirinya. Padahal, bayangan dirinya di cermin terlihat seperti binatang. Elleni kadang terlihat seperti seekor kerbau dengan anting besi di hidungnya. Dia siap untuk ditarik secara paksa kapan saja untuk membajak sawah. 

Elleni sering melenguh, menyiratkan bahwa dirinya tak bahagia. Kini, Elleni hanyalah seekor kerbau betina yang tidak bisa melakukan apa-apa. Dua kaki belakangnya patah, dan dia tidak bisa lagi membajak sawah. Hidupny sia-sia. 

Elleni adalah manusia dengan pola pikir hewani. Elleni itu tolol, dan aku sadar bahwa dia merangkul manusia-manusia lain untuk terlihat tolol bersamanya. 

Oh, El, aku merasa letih. Dapatkah aku hidup tanpa kehadiran orang-orang seperti Elleni? Aku tahu keberadaan orang-orang seperti mereka memberi warna dan pelajaran. Hanya saja, Elleni dan kaumnya mengotori kedua mataku, El. Sulit untuk membersihkan bola mataku yang kini berwarna merah gelap karena terinfeksi bau mulut Elleni. 

Andai saja, lebih banyak manusia yang mau membantu satu sama lain. Andai saja, manusia tak saling menggugat. Andai saja, citra dan harga seorang manusia dengan manusia lainnya setara. 

Mungkin, hidup sebagai manusia yang primitif jauh lebih baik daripada hidup sebagai manusia yangkatanyamengaku berpendidikan. Oh, aku setuju, El.

No comments:

Post a Comment