Wednesday, March 9, 2016

Tranggana.

Di depan pintu yang tertutup rapat, ia berdiri.
Sorot matanya yang kosong membelah langit,
Memorak-poranda rasa di dalam dada orang-orang yang melihatnya,
 Dan meluluhlantakkan isi kepala mereka.

Ia berjalan dengan anggun,
Menarik paksa seluruh mata di sekitarnya untuk menatapnya.
Dan ia berhenti,
Tepat di depanku.

Ia memandang kedua mataku tajam.
Bibirnya yang tipis tak bergerak.
Matanya bagai ular yang sedang lapar,
Dan rahangnya secara tiba-tiba terlihat mengeras.

Tranggana berjalan mendekat,
Menyisakan jarak sekitar satu jengkal di antara kami.
Ia berbisik di telinga kananku,
Dan memintaku untuk bernapas bersama.

Aku memilih mundur.
Mulutnya menganga.
Matanya mendelik,
Matanya bertanya.

Air mata bergerak turun ke pipinya.
Ia menelan ludah,
Berbalik,
Dan berjalan menjauh dariku tanpa suara.

Untuk pertama kali dalam hidupnya,
Tranggana takut akan kehilangan.
Untuk pertama kalinya,
Ia ditolak oleh cinta yang telah ia pendam selama bertahun-tahun.

 Tranggana membuka pintu tanpa menoleh kepadaku.
Ia masuk ke ruangan di balik pintu tersebut,
Dan menutup pintu tersebut dengan lembut,
Tanpa bicara sepatah kata pun.

Mampukah, Tranggana?
Apakah ia mampu hidup sendiri?
Apakah Tranggana akan bunuh diri?
Entah, karena hidupnya tak lagi menjadi urusanku.

No comments:

Post a Comment