Saturday, July 11, 2020

Merayakan Kepulangan Anakku pada Sang Esa

Jakarta, 31 Mei 2018 - Bom Surabaya


Apakah kamu tahu, perang yang paling menyeramkan di dunia?
Ya, berperang dengan diri sendiri.

Sejak kamu membuka matamu di pagi hari, kamu sudah berada di medan perang. Kamu akan berperang dengan orang-orang yang punya kepentingan. Logikamu akan berperang dengan perasaanmu. Kamu harus mengakuinya, setiap usaha yang telah kamu lakukan, mudah atau sulit, membutuhkan keringat dan kemauan.

Warga Surabaya sedang dilanda ketakutan. Selama dua hari, ledakan bom bunuh diri menghantui dan melekat di pikiran mereka. Rasa takut untuk melakukan sesuatu seakan bersifat abadi, menghancurkan keyakinan akan tenteramnya hidup berdampingan dengan sekelompok individu. Ya, warga Surabaya sedang berada dalam sebuah peperangan. 

Manusia menebar teror karena sebuah alasan. Alasan yang tak dapat dimengerti, tak dapat diterima, tak dapat dipercaya, dan lahir dari perang batin. Apa pun alasannya, setiap manusia punya tujuan dan hal itu lumrah. Mereka berperang dengan banyak hal, termasuk dengan diri mereka sendiri agar tujuan mereka tercapai. 

Sang penebar teror pun diberi gelar. Teroris, dengan aksi kekerasan yang berawal dari menghalalkan segala cara untuk mencapai sebuah tujuan. 

Keluarga Dita Oepriarto yang terdiri dari seorang istri dan empat orang anak tewas bunuh diri dengan bom yang melekat di tubuh mereka. Masing-masing memiliki peran, yakni meledakkan diri di tiga gereja berbeda di Surabaya. 

Ledakan lain menyusul di sebuah rusun di Sidoarjo. Bom milik Anton Ferdiantono meledak tanpa disengaja, menewaskan dirinya, istrinya, dan putrinya. 

Ledakan kembali terjadi di Polrestabes Surabaya. Tri Murtiono bersama istri dan dua putranya tewas bunuh diri dengan meledakkan bom yang mereka bawa. Ledakan itu melukai tiga polisi yang tengah berjaga, begitu juga dengan putri bungsu mereka-- yang ajaibnya-- selamat dari kejadian nahas itu. 

Dua keluarga ini punya tujuan yang tidak akan pernah bisa kamu mengerti. Ada sebuah pencapaian tertentu yang harus diraih, dan hal itu diagungkan oleh mereka.

Pedih. Anak-anak mereka tidak tahu apa-apa. Mungkin, mereka hanya diminta untuk percaya kepada orang tua. Anak-anak itu tak mau dicap sebagai anak durhaka. Tentu saja, setiap orang tua pasti memberikan yang terbaik untuk anak-anak mereka. Mungkin. 

Banyak hal yang berkecamuk di pikiran saya. Apa yang sebenarnya dikatakan orang tua anak-anak itu sampai mereka mau mengikhlaskan nyawa untuk sesuatu yang... Tidak pasti? 

"Nak, surga itu indah. Kamu bisa menemukan apa yang kamu inginkan di sana. Tuhan akan mengabulkan semua permintaanmu." 

"Nak, semua yang haram akan menjadi halal di surga. Simpan keinginanmu itu, Tuhan akan memberikan apa yang kamu inginkan sesampainya kamu di sana." 

"Nak, jika kamu mencintai orang tuamu, lakukan apa yang mereka pinta. Sembilan bulan ibumu mengandung dan membawamu kemana pun dia pergi tanpa mengeluh. Ibumu bertaruh dengan kematian hanya untuk melahirkanmu ke dunia. Dia memberimu susu, memandikanmu, dan menggendongmu agar tangismu berhenti. Dia memberikan hidupnya untukmu. Sekarang, saatnya kamu membalas kebaikan ibumu." 

"Anakku, Rasulullah SAW pernah ditanya, siapakah orang yang harus dihormati di dunia ini. Beliau menjawab, 'Ibumu, ibumu, ibumu, baru ayahmu'. Tunjukkan cinta dan kasih sayangmu pada ibumu, Nak. Dengarkan dia, turuti kemauannya. Jangan lukai hatinya. Lebih baik, kamu yang terluka." 

"Harta yang paling indah adalah keluarga. Hanya maut yang mampu memisahkan kita, anakku sayang."

Dan orang tua mereka menciptakan maut
sebelum Tuhan menuliskan takdir anak-anak mereka. 

Setiap keluarga memiliki pertimbangan masing-masing. Baik atau buruk, itu bukan urusanmu. Tapi, jika pertimbangan mereka memberikan dampak besar dan melibatkan nyawa, kamu dibebaskan untuk mengecam dan mengutuk keras apa yang mereka lakukan. Entah adil atau tidak, manusia bebas untuk berpendapat. 

Kesepakatan pun dicapai tanpa adanya intervensi. "Baik bagiku, tentu baik untuk orang lain." Para orang tua mempermudah jalan mereka untuk mencapai sebuah tujuan hidup yang sudah memanggil tanpa suara, mengajak serta buah hati mereka, dan mengembuskan napas terakhir bersama dalam keadaan yang mereka sebut dengan 'kedamaian'.

Saya tidak menganggap mereka sebagai manusia-manusia yang tak beriman. Iman tak hanya berhubungan dengan agama, tapi juga dengan batin. Pergolakan batin yang tak kunjung usai membuat mereka mengambil sebuah langkah. Sadar atau tidak, rasa percaya di dalam diri menguat dengan sendirinya. Lagi-lagi, seorang pemimpin tahu yang terbaik untuk para pengikutnya. Dalam kasus ini, kembali ke pangkuan Sang Khalik adalah pilihan terbaik. Toh, pada akhirnya, kita semua akan kembali pada-Nya. 

Manusia,
kuatkan imanmu.
Peluk tubuhmu erat-erat dengan kedua tanganmu.
Bicara padanya,
pahami fungsi setiap organ di dalamnya.

Pikiran memang tak berbatas, karena manusia menentukan jalan hidup mereka masing-masing. Tapi, jangan ambil atau hasut jiwa lain dengan embel-embel 'demi kehidupan yang lebih baik'. 

Jangan menyebar teror dengan harapan, manusia akan takut pada Yang Maha Kuasa. Ingat, Tuhan tidak mencipta dan menebar teror. Teroris juga tidak terafiliasi dengan agama atau etnis mana pun. 

Satu hal lagi. Jika saya adalah salah satu anak dari keluarga itu, mungkin saya akan terus membatin hal yang sama secara berulang kali. Membatin dengan air mata, rasa kecewa, tapi entah kemana saya harus berlari. 

"Untuk apa Ibunda mengandungku selama sembilan bulan, berjuang melewati kematian untuk melahirkanku, merawat dan mendidikku hingga aku menjadi seorang remaja yang tangguh, jika pada akhirnya, dia sendiri yang mengembalikanku pada Sang Pencipta?" 

Adikku, mungkin, ini adalah pesta, persembahan dari ayah dan ibumu untuk merayakan kepulanganmu ke pelukan Sang Esa.

No comments:

Post a Comment